Kamis, 11 April 2013

NuClear


Tahun 1959
Korsel menyambut sinar sang surya ketika gorden jendela kamarnya terbuka. Ia menghirup udara perlahan, lalu menghembuskannya. Matahari kala ini sangat indah, sungguh, tetapi ketika Korsel menajamkan matanyaAda pandangan itu, dan ada orang itu. Ya, Korut. Saudara kembarnya yang sangat antisosial. Jangankan bergaul dengan negara lain, hubungan di antara mereka sebagai saudara kembar saja kalau dihitung secara matematika bisa mencapai minus tak terhingga.

Korsel masih ingat, beberapa hari yang lalu ada paket pos datang ke rumah mereka. Sebuah paket besar seukuran kulkas dua pintu yang ditujukan untuk Korut. Dan apa kalian tahu paket itu dari siapa? Rusia, lelaki berwajah dingin yang rumahnya hanya berjarak satu bangunan dari rumah mereka. Mendengar namanya saja Korsel sudah bergidik dan firasat buruknya bertambah besar ketika Korut membuka paket itu. Sebuah mini rudal dengan lambang NC pada dasar badannya.

Hanya satu ide yang terlintas di pikiran Korsel saat itu; Rusia memberi Korut rudal nuklir. Pikiran itu semakin yakin dipahami Korsel ketika ia menanyakan langsung pada Korut dan saudara kembarnya itu hanya membalas dengan senyuman picik yang sangat dibencinya juga saat ia melirik buku panduan rudal itu yang bertuliskan “NuClear” kepanjangan dari NC

Series 9559,” ucap Korut mengagetkan Korsel yang tadinya sedang melamun di meja makan.

Series 9559? Apa itu?” Korsel mengerutkan alisnya.

“Tunggu tanggal mainnya. Aku tidak akan kalah dengan Amerika,” jawab Korut seraya membawa rudal mini-nya masuk ke dalam kamar meninggalkan Korsel yang mulai meramu khayalan-khayalan mengerikan yang mungkin akan terjadi dalam skenario terburuk.
***


Tahun 1970
Korsel hanya bisa mengerutkan alisnya ketika meneliti kandungan mini rudal yang beberapa hari lalu ia dapatkan dari tetangganya, Cina. Sebelas tahun setelah saudara kembarnya, Korut, memperoleh mini rudal pertamanya baru sekarang Korsel bisa membeli mainan penuh resiko itu. Ketinggalan? Ya, memang. Tetapi itu lebih baik dari pada terus dihantui rasa ngeri atas ancaman tersirat Korut yang bisa meluncurkan rudal NC –yang sekarang mungkin telah berkembang daya ledaknya- kapan saja.

Mengenai Series 9559, Korsel akhirnya tahu kalau itu adalah nama perjanjian yang disepakati Rusia dan Korut. Perjanjian mengenai bantuan alat, pendidikan, dan dana meneliti NC.

“Jadi kamu membeli barang yang sama denganku?” komentar Korut. Matanya menatap sinis mini rudal milik Korsel.

“Hm, ya. Hanya untuk berjaga-jaga,” jawab Korsel. Sebenarnya ia ingin menambahkan berjaga-jaga darimu yang bisa membunuhku kapan saja, tetapi ia urungkan mengingat Korut adalah pribadi yang bila emosinya disulut akan melakukan hal-hal bodoh yang bisa merugikan dunia.

Korut melirik kertas berisi tabel dan kurva rumit yang tak dimengerti Korsel. Seperti memahami sesuatu ia menjentikkan jarinya dan tersenyum sinis pada Korsel.

“Sampai kapanpun NC milikmu tidak akan melebihi daya ledak milikku.”

Kalimat itu bagai memperjelas argumentasi-argumentasi yang selama ini bergolak di pikiran Korsel, setidaknya bagi Korsel sendiri. Lelaki berpupil cokelat itu segera mengambil pager-nya lalu menuliskan pikirannya yang akan tersampaikan pada tetangga-tetangganya.
***

Tahun 1975
Perancis menarik-ulur kabel teleponnya. Jemarinya sesekali menari pada angka-angka yang tertera melingkar di badan telepon tembaga itu, lalu kemudian akhirnya memutar ulang untuk membatalkan niatnya menelpon seseorang yang baru dikenalnya tak lama ini.

Matanya melirik pada foto yang terbingkai rapi di dinding. Gerboise Bleue. Nuklir pertamanya yang ia luncurkan 15 tahun lalu pada perang Algeria. Ia tidak bisa melupakan sensasi puasnya saat rudal berisi cairan pemusnah itu meluncur ke langit hingga rudal bermassa 70 kiloton itu sukses meluluhlantakkan Gurun Algeria.

“Batalkan bantuan nuklirmu pada Korsel!”

“Iya, iya. Memang kenapa sih? Korsel kan tidak seberbahaya Korut.” Perancis mengangkat gagang teleponnya, matanya melirik Amerika yang sedang menyeruput teh di sofa berwarna emas.

“Bukan masalah Korsel berbahaya atau tidak…” Amerika bangkit dari sofa empuk itu. “Yang aku khawatirkan jika suatu saat nanti perselisihan antara Korsel dan Korut memanas maka kedua negara itu akan berperang dengan nuklir mereka,” sambungnya serius.

“Dan juga sudah cukup hanya 5 negara saja yang boleh mengembangkan nuklir.” Kali ini Britania angkat bicara setelah memilih bungkan beberapa waktu ini. Ia menyerahkan sebuah dokumen pada Amerika, dokumen berisi tanda tangan dan perjanjian yang telah beberapa negara setujui.

Non-Proliferation Treaty?” tanya Perancis.

Britania mengangguk. “Suruh Korsel datang ke sini sekarang. Kita akan membujuknya untuk menandatangani NPT,” ucapnya kemudian.
***

Non-Proliferation Treaty (NPT) adalah perjanjian yang berisi kesepakatan untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir dan penggunaannya hanya untuk tujuan perdamaian. Ide perjanjian tersebut pertama kali dicetuskan oleh Irlandia dan pertama kali diratifikasi oleh Finlandia.

“Apa aku harus menandatangani ini?” tanya Korsel heran saat Amerika menyodorkan sebuah dokumen dan proposal NPT.

“Iya, hal ini demi kebaikan kita semua,” jawabnya tegas.

“Walaupun aku baru saja memiliki NC? Aku tidak seberbahaya itu.” Korsel menjawabnya dengan sinis. Ia tidak habis pikir kenapa tiga negara besar ini sampai rela mengundangnya ke rumah Amerika. Setaunya, rumah Amerika hanya sering dimasuki oleh negara-negara penting dan besar.

“NC atau nuklir macam apapun, baru atau lama, kita harus menyepakati perjanjian ini. Dan juga aku tidak akan lagi membantumu dalam mengembangkan NC,” ucap Perancis.

Korsel menghela napasnya. “Baiklah, kalau begitu aku berhenti meneliti dan mengembangkan NC,” ucapnya lalu menggoreskan tanda tangannya pada selembar kertas putih yang mereka sebut sebagai dokumen pemelihara perdamaian.

“Kau yakin ingin berhenti menelitinya?” tanya Perancis.
Korsel mengangguk mantap sambil menyerahkan dokumen itu kembali pada Amerika yang juga agak kaget dengan pernyataan Korsel.
***

Tahun 2003
Amerika, Jepang, Britania dan Korsel ternganga.

“Aku mengundurkan diri dari NPT,” ulang Korut sekali lagi, untuk meyakinkan mereka.

“K-kenapa?!” tanya Amerika.

“Aku tidak suka dibatasi oleh negara lain,” Korut merobek dokumen yang pada 1985 ia tanda tangani, membuat bungkam saudara kembar dan tiga negara besar itu.
***

Tahun 2006
Hari ini adalah hari terpenting kedua bagi Korut setelah hari ulang tahunnya. Rudal NC yang telah ia kembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu, akhirnya hari ini akan meluncur menembus langit dalam uji coba ledakan. Perasaan bangga memenuhi dadanya, akhirnya ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak patut untuk diremehkan oleh para negara barat.

Beep.. beep…

Korut merangkai kalimat dalam pesan singkat di ponselnya.

Klik… Terkirim.
***

Cina berlari dari dapur ke kamarnya ketika mendengar lagu Gong Ji’ou menggema dari ponselnya. Tangannya menggapai ponsel yang ia letakkan dia atas meja kerjanya dan menggerakkan jemari untuk membuka pesan singkat dari seorang teman yang telah lama dikenalnya.

“Hah?” Kelopak mata Cina berkedip dengan cepat. Ia seperti tidak percaya akan apa yang dibacanya. Ia membacanya pesan singkat itu sekali lagi.. kali ini keringat dingin mengalir di dahinya.

Lelaki berpupil gelap itu segera mengambil buku kecil dari laci mejanya. Ia membuka lembaran demi lemabaran kertas dengan terburu-buru hingga menemukan sebuah goresan nomor telepon.

“01-201-23..”

Tuuuut….

Tersambung.

“Halo, Amerika?”
***

Amerika, Jepang, Britania dan Korsel berkumpul di rumah Rusia setelah setengah jam yang lalu Amerika mendapat telepon dari Cina yang memberitahukan jika Korut akan menguji NC-nya hari ini, tepatnya pukul 9 pagi.

“Korut tidak mengatakan apapun padaku tentang uji ini,” kata Rusia.

“Kamu benar-benar tidak tahu kemana Korut akan meluncurkan NC-nya?”

Korsel menggeleng menanggapi pertanyaan Jepang. “Hubunganku dengan Korut sangat buruk.” Ia menekankan pada kalimat ‘sangat buruk’.

“Ini akan jadi masalah besar jika NC yang diluncurkan Korut bermassa besar.” Britania mengutak-atik ponselnya. “Tapi kupikir massa-nya tidak akan lebih dari 5 kiloton,” sambungnya kemudian.

“Apalagi setelah Series 9559 berakhir, aku tidak pernah campur tangan lagi dalam pengembangannya,” ungkap Rusia.

Grrrrrrhhhhh….

Suara gemuruh itu membuat Amerika, Jepang, Korsel, Britania dan Rusia saling memandang satu sama lain. Setelah itu Amerika memandang keluar jendela dan menemukan sebuah rudal berwarna baja meluncur membelah putihnya awan.

“Sudah mulai, huh?” Amerika dan Britania bergegas mengambil jas mereka dari ruang penyimpanan pakaian tamu milik Rusia.

“Aku tidak tahu apa yang bisa kita lakukan, tapi setidaknya kita harus menemui Korut sekarang dan memintanya menjelaskan apa motif dari uji ini.” Korsel mengikuti Amerika dan Britania yang telah berjalan keluar dari rumah Rusia.

“Benar. Toh, kalau dia punya motif berbahaya hal itu akan mengancam keamanan kita yang rumahnya berdekatan dengan Korut,” susul Jepang.

Tinggal Rusia sendiri, menatapi rudal NC yang dulu ia berikan pada Korut telah meluncur ke langit. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku celana, lalu menekan tombol ‘panggil’ saat barisan nomor muncul di layar ponselnya.

“Cina? Kamu juga lihat? Ya, sekarang Amerika, Jepang, Korsel dan Britania sedang menuju ke sana. Aku? Hm, mungkin sebentar la-.”

Terputus.

Rusia berdecih lalu mengambil topi-nya dan bergegas menyusul keempat temannya yang telah pergi terlebih dahulu. Ia berusaha menelpon Korut namun tidak tersambung karena Korut mungkin mematikan ponselnya, atau mungkin karena jaringan yang terganggu akibat rudal NC.

“Apakah ini jalan yang kamu pilih, Korut?”***

Prologue


     Hentakan sepatu kaca berwarna kelabu itu meraum miris dalam labirin tak berujung. Sang empunya menggigit bibir ranumnya sambil menyipitkan mata. Dentuman jantung yang mengalahkan letupan gunung Hawaii saat erupsi itu terasa memakan nadi-nadinya. Napasnya memburu, pupil senada jamrud itu berkedip lebih banyak dari biasanya.

     Bayang-bayang hitam tanpa kepala bertunggang kuda mengejarnya dengan penuh gairah. Bayang-bayang itu pasti akan mengejarnya sampai ke ujung dunia. Entah dunia mana. Dirinya terlalu nikmat untuk dilewatkan oleh mereka. Dirinya terlalu kuat untuk diabaikan oleh mereka. Namun, sebenarnya mereka tidak akan bisa semudah itu menyantapnya, itu sama saja dengan bunuh diri.

     Entah sudah berapa ribu purnama ia lewati. Hidupnya terlalu kekal untuk menghitung waktu, toh ada kemungkinan jika hidupnya tidak akan pernah berakhir. Namun, dari beribu purnama itu baru kali ini ia terjebak dalam labirin dimensi. Ia tidak tahu mengapa. Beribu kemungkinan berdesak dalam pikirannya.

    Bayang-bayang hitam tanpa kepala yang sebenarnya merupakan ksatria awal zaman itu terus mengejarnya. Buruk. Ia telah berada di labirin ini terlalu lama. Lebih lama lagi ia terperangkap di sini maka labirin penghubung dunia ini akan runtuh karena tak kuasa menahan gesekan antara kekuatannya dan segel dimensi.

     Ia terlalu sakti, kah? Sekelumit penyesalan menyerbu hatinya karena pergi melintasi labirin ini seorang diri. Seharusnya ia pergi bersama Gawain dan Galahad seperti biasanya.. Ya, seharusnya.

      Hm.. Jika diingat dulu ia bertemu dengan dua pemuda itu di labirin dimensi ini. Satu abad yang lalu mungkin. Ia menemukan Gawain dan Galahad tergeletak di sisi dinding labirin. Entah mereka ingin pergi kemana namun yang jelas mereka berdua terlalu lemah untuk melintasi labirin ini, kebalikan dari dirinya yang terlalu kuat. Karena itu dulu dirinya menawarkan untuk menyelamatnya mereka dengan satu syarat; Gawain dan Galahad harus mengabdi padanya selama-lamanya. Ajaibnya, kedua pemuda itu langsung menyetujuinya, tanpa negosiasi apapun.

     Sejak saat itu ia tidak pernah sendiri ketika melintasi labirin dimensi. Selalu ada Gawain dan Galahad yang menemaninya, bekerja sebagai penetral yang secara otomatis akan meyerap seperempat dari kekuatannya, menjamin labirin dimensi ini tidak goyah ataupun hancur.

     Sang penyihir menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ah, ia bahkan bisa merasakan keringat juga mengalir di sela-sela rambut indah berwarna emasnya. Wajah jelitanya yang menipu takdir usia itu terlukis perasaan khawatir. Sang penyihir melirik gaunnya yang berwarna seindah bukit harapan. Sang penyihir benci mengetahui gaun favorite-nya kotor terseret tanah becek dalam labirin ini.

     SIIINGG...

    “Ah, ini kan..”

  Sang penyihir menatap cincin bertahta permata Kooh-i-Noor yang melingkar manis pada jari telunjuknya. Permata itu bersinar kekuning-kuningan, pertanda jika ada seseorang yang memanggilnya. Seseorang dengan kekuatan yang hampir sepadan dengannya.

     Tetapi ini bukan saatnya untuk menjawab panggilan itu kan? Prioritasmu adalah untuk bisa keluar dari labirin dimensi ini secepat mungkin.

     “Aku hanya memiliki dua pilihan, huh?” ucap sang penyihir ketika langkahnya terhenti di sisi jurang batas akhir dari labirin ini.

     Sekarang ia hanya memiliki dua pilihan; melepas cincinnya dan menerima panggilan dari seseorang itu atau melompat ke dasar jurang meski ia tidak tahu ada apa di ujung jurang itu.


***
Notes :
 Jadi ini adalah Choice-Novel. Bagaimana cerita selanjutnya ditentukan oleh hasil polling yang berada di sisi kanan atas blog ini. Silahkan vote tindakan apa yang menurut kamu harus dilakukan oleh sang karakter dalam cerita ini.

Anggi Widyastuti
@anggiwdyst

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design