Jumat, 31 Mei 2013

Frei (Part 1)



     Uap itu mengepul setelah bergesekan dengan karbondioksida yang dihembuskan sang pria. Panas. Uap itu mengenai badanku tetapi sang pria tidak peduli. Ia hanya menghirup aroma robusta itu lalu dalam hitungan detik menyeruputnya dengan ganas. Ah, aku hanya bisa menatap sang pria dari samping, meratapi dan sedikit mengutuk wajahnya yang sangat tampan.
    

  “Jendral Gerald? Bagaimana menurut Anda?” sang pria mengeluarkan suaranya ketika sang jendral menutup proposal yang ada di tangannya, ia telah selesai membacanya, huh?
    

    Aku tidak mau berharap banyak pada jendral ini, tetapi sang pria tidak. Entah ia mendapat rasa percaya itu dari mana. Meskipun sudah berpuluh-puluh kali ditolak, sang pria tidak pernah lelah dengan jendral-jendral dan politikus oportunis busuk di negara ini.
  

    “Hm.. Seperti biasa kamu memang pemimpi yang luar biasa. Rencana naif ini tidak akan menguntungkan siapapun,” jawab sang jendral, akhirnya.
     

       Kan.. Kubilang juga apa..
    

      “Tapi jendral..”
    

      SRAK! SRAK!   
   
     Jendral itu merobek proposal yang selama sebulan ini mengunci waktu luang sang pria. Oh, bukannya manusia seharusnya diajarkan untuk menghargai hasil jerih payah orang lain ya?
   

    “Kamu seharusnya tahu diri dan bersyukur aku mau meluangkan waktu untuk membaca proposal bodoh ini.”
    

   Meskipun kamu hanya membacanya sekitar 5 menit? Untuk sebuah proposal dengan total 58 halaman? What a bullshit! Oh, seandainya kalimat itu bisa keluar dari mulutku.
     

    “Jangan pernah muncul di depan markas lagi, aku sudah muak denganmu. Dasar orang gila!” Sang jendral pergi setelah berdecih dan memberikan tatapan jijik pada sang pria.
    

   Sang pria hanya bisa tertunduk sambil memungut robekan proposalnya. Sekarang sang pria mau kemana? Apa yang akan ia lakukan? Dengarkan aku.. Dengarkan aku.. Aku yang paling mengerti sang pria, aku yang selalu ada di sampingnya. Dengarkan aku, Ludwig.. Dunia tidak sebaik yang kamu pikirkan.


***
     Sekarang bukanlah waktu yang aman untuk keluar rumah. Hujan bom atom milik sekutu bisa saja sewaktu-waktu membunuhmu. Bukan hanya kamu, sang pria pemimpi, tetapi juga orang-orang di sekitarmu.
     

    Hubungan antara Jerman dan sekutu tidak menunjukkan keadaan yang bagus. Jerman, negara ini, telah kehilangan hampir empat puluh persen daerah kekuasannya. Kekeringan dan kelaparan menggerogoti kehidupan masyarakat dan sang pria telah berulang kali menawarkan solusi pada mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi nihil, kan? Bukannya menerima mereka malah melecehkanmu.

    Orang-orang di negara yang sangat kamu cintai melecehkanmu. Bahkan bisa dibilang negara ini mengkhianatimu, ia telah mengambil segala hal yang kamu sayangi. Tetapi aku tidak, hanya aku yang tidak mereka ambil darimu. Karena itu.. Karena itu aku yang akan mempertahankanmu. Meskipun negara ini hancur dan orang-orangnya mati meninggalkanmu, aku akan tetap mempertahankanmu.

     “Mungkin rencanaku kali ini terlalu berlebihan..” ucap sang pria membelah kesunyian di mansion buruk rupa ini.


     Tidak.. Tidak ada yang berlebihan dari semua rencana yang pernah kamu ajukan. Memindahkan ibukota negara bukanlah ide yang mustahil. Bahkan aku yang tidak hidup pun tahu bahwa cara itu bisa mengurangi korban sipil.


     “Aku benci perang.. Kenapa manusia tidak bisa hidup tanpa bergesekan. Sebenarnya apa penyebab perang ini?”


      Keegoisan manusia. Semua ini dimulai karena keegoisan dan keserahakan manusia.


     Sang pria meraih sebuah buku dari dalam tumpukan kardus. Ada lebih dari 20 buku di dalam kardus itu, peninggalan dari kakek sang pria. Buku-buku itu sangat tebal dan menggunakan bahasa berat yang tidak aku mengerti. Bahkan ada sekitar 8 buku menggunakan bahasa latin.


   “Buku ini..” sang pria membuka buku yang ia ambil. “Tale of Britannia?” nada bingung menggantung di udara.


     Britannia, huh? Aku melirik isi buku.. ah, mungkin lebih tepatnya jurnal. Aku mengenal tulisan tangan rapi yang terpatri dalam jurnal itu. Tulisan Edward, kakek sang pria. Aku pernah dengar jika Edward pernah pergi ke Britannia tapi aku tidak tahu jika lelaki petualang itu akan menulisnya dalam sebuah jurnal.


     BOOOOM!! BOOOOM!!   


   Sang pria menghempaskan jurnal itu dan dengan insting langsung berlari keluar mansion. Apa yang sang pria lihat di mata keabuannya adalah Zurich yang terbakar dan hancur. Kota tempat ibunya dilahirkan itu luluh lantak akibat bom yang dijatuhkan lima buah pesawat MiG-17 belambang VVS.

      “Voenno Vozdusnie Sily? Uni Soviet? Kenapa?!” ucap sang pria tidak percaya.

      “Itulah manusia, sangat egois.”


     Suara itu membuat sang pria berpaling dari pemandangan menyedihkan itu. Apa yang sang pria lihat sulit untuk dicerna. Sang pria ternganga, bagaimana tidak, pemandangan seorang wanita dengan gaun bergaya klasik berwarna bukit yang melayang perlahan menyentuh bumi tersaji di hadapannya.


     Wanita berambut emas itu menatapku sambil tersenyum, ah, dia tahu aku? Berarti dia bukan manusia biasa. Oh, bahkan mungkin dia bukan manusia. Setidaknya, bukan lagi.


     “Kau punya benda yang menarik ya.” Wanita itu menyentuhku namun tangannya langsung dihempaskan oleh sang pria.


     “Heeh.. Kau beruntung ya, sepertinya dia sangat menjagamu.”


     Bukan. Aku yang selalu menjaga pria itu, bukan kebalikannya.


    “Keras kepala ya.. Oh, sepertinya serangan dari Uni Soviet telah berhenti.” Wanita itu menjentikkan jarinya dan tak lama kemudian langit yang sebelumnya tenggelam dalam asap hitam terbelah menjadi dua disertai dengan petir dan guntur.


   “Dengan begini apinya tidak akan menjalar sampai ke mansionmu,” ucap wanita itu ketika hujan mulai turun.


       Siapa wanita ini?
      “Kamu.. Siapa kamu?”


    Wanita itu memetik bunga mawar yang ada di halaman mansion sang pria. Setangkai mawar layu yang berjuang mati-matian untuk tetap bertahan hidup. Wanita itu menatap sang mawar dengan tatapan penuh kasih sayang lalu meniupnya lembut.


    “Mawarnya!”


   Sang pria hanya bisa menahan napas melihat keajaiban yang terjadi. Mawar itu mekar kembali, mawar yang tadinya layu itu..


   “Kau tahu, aku datang dari labirin dimensi.. Dan saat aku terjun dari jurang itu, aku tidak pernah menyangkan akan kembali ke dimensi ini lagi setelah sekian lama.”


     Labirin dimensi? Gaun berwarna bukit itu dan warna rambut itu.. Jangan bilang kalau dia!


    “Namaku Lucy de Lancelot du Lac, sang penyihir dimensi.”


    “Penyihir?”


    Wanita bernama Lucy itu tersenyum. Ia berjalan mendekati sang pria kemudian berbisik di telinga kanan sang pria. Bisikan yang membuat sang pria terdiam, bisikan yang membuat kamu mengepalkan tanganmu.


“Can I grant your wish?”
To be continued..
***
NB: Terima kasih atas dukungan pada choice-novel ini.. Hasil poling kemarin menyatakan kalo Lucy terjun ke dalam jurang.. Pada jahat yah.. Huhuhuh. Nah, sekarang please vote again!! Hasil vote akan berpengaruh pada bagaimana cerita ini akan berakhir :3
Anggi Widyastuti aka Beenbin
@anggiwdyst

Kamis, 11 April 2013

NuClear


Tahun 1959
Korsel menyambut sinar sang surya ketika gorden jendela kamarnya terbuka. Ia menghirup udara perlahan, lalu menghembuskannya. Matahari kala ini sangat indah, sungguh, tetapi ketika Korsel menajamkan matanyaAda pandangan itu, dan ada orang itu. Ya, Korut. Saudara kembarnya yang sangat antisosial. Jangankan bergaul dengan negara lain, hubungan di antara mereka sebagai saudara kembar saja kalau dihitung secara matematika bisa mencapai minus tak terhingga.

Korsel masih ingat, beberapa hari yang lalu ada paket pos datang ke rumah mereka. Sebuah paket besar seukuran kulkas dua pintu yang ditujukan untuk Korut. Dan apa kalian tahu paket itu dari siapa? Rusia, lelaki berwajah dingin yang rumahnya hanya berjarak satu bangunan dari rumah mereka. Mendengar namanya saja Korsel sudah bergidik dan firasat buruknya bertambah besar ketika Korut membuka paket itu. Sebuah mini rudal dengan lambang NC pada dasar badannya.

Hanya satu ide yang terlintas di pikiran Korsel saat itu; Rusia memberi Korut rudal nuklir. Pikiran itu semakin yakin dipahami Korsel ketika ia menanyakan langsung pada Korut dan saudara kembarnya itu hanya membalas dengan senyuman picik yang sangat dibencinya juga saat ia melirik buku panduan rudal itu yang bertuliskan “NuClear” kepanjangan dari NC

Series 9559,” ucap Korut mengagetkan Korsel yang tadinya sedang melamun di meja makan.

Series 9559? Apa itu?” Korsel mengerutkan alisnya.

“Tunggu tanggal mainnya. Aku tidak akan kalah dengan Amerika,” jawab Korut seraya membawa rudal mini-nya masuk ke dalam kamar meninggalkan Korsel yang mulai meramu khayalan-khayalan mengerikan yang mungkin akan terjadi dalam skenario terburuk.
***


Tahun 1970
Korsel hanya bisa mengerutkan alisnya ketika meneliti kandungan mini rudal yang beberapa hari lalu ia dapatkan dari tetangganya, Cina. Sebelas tahun setelah saudara kembarnya, Korut, memperoleh mini rudal pertamanya baru sekarang Korsel bisa membeli mainan penuh resiko itu. Ketinggalan? Ya, memang. Tetapi itu lebih baik dari pada terus dihantui rasa ngeri atas ancaman tersirat Korut yang bisa meluncurkan rudal NC –yang sekarang mungkin telah berkembang daya ledaknya- kapan saja.

Mengenai Series 9559, Korsel akhirnya tahu kalau itu adalah nama perjanjian yang disepakati Rusia dan Korut. Perjanjian mengenai bantuan alat, pendidikan, dan dana meneliti NC.

“Jadi kamu membeli barang yang sama denganku?” komentar Korut. Matanya menatap sinis mini rudal milik Korsel.

“Hm, ya. Hanya untuk berjaga-jaga,” jawab Korsel. Sebenarnya ia ingin menambahkan berjaga-jaga darimu yang bisa membunuhku kapan saja, tetapi ia urungkan mengingat Korut adalah pribadi yang bila emosinya disulut akan melakukan hal-hal bodoh yang bisa merugikan dunia.

Korut melirik kertas berisi tabel dan kurva rumit yang tak dimengerti Korsel. Seperti memahami sesuatu ia menjentikkan jarinya dan tersenyum sinis pada Korsel.

“Sampai kapanpun NC milikmu tidak akan melebihi daya ledak milikku.”

Kalimat itu bagai memperjelas argumentasi-argumentasi yang selama ini bergolak di pikiran Korsel, setidaknya bagi Korsel sendiri. Lelaki berpupil cokelat itu segera mengambil pager-nya lalu menuliskan pikirannya yang akan tersampaikan pada tetangga-tetangganya.
***

Tahun 1975
Perancis menarik-ulur kabel teleponnya. Jemarinya sesekali menari pada angka-angka yang tertera melingkar di badan telepon tembaga itu, lalu kemudian akhirnya memutar ulang untuk membatalkan niatnya menelpon seseorang yang baru dikenalnya tak lama ini.

Matanya melirik pada foto yang terbingkai rapi di dinding. Gerboise Bleue. Nuklir pertamanya yang ia luncurkan 15 tahun lalu pada perang Algeria. Ia tidak bisa melupakan sensasi puasnya saat rudal berisi cairan pemusnah itu meluncur ke langit hingga rudal bermassa 70 kiloton itu sukses meluluhlantakkan Gurun Algeria.

“Batalkan bantuan nuklirmu pada Korsel!”

“Iya, iya. Memang kenapa sih? Korsel kan tidak seberbahaya Korut.” Perancis mengangkat gagang teleponnya, matanya melirik Amerika yang sedang menyeruput teh di sofa berwarna emas.

“Bukan masalah Korsel berbahaya atau tidak…” Amerika bangkit dari sofa empuk itu. “Yang aku khawatirkan jika suatu saat nanti perselisihan antara Korsel dan Korut memanas maka kedua negara itu akan berperang dengan nuklir mereka,” sambungnya serius.

“Dan juga sudah cukup hanya 5 negara saja yang boleh mengembangkan nuklir.” Kali ini Britania angkat bicara setelah memilih bungkan beberapa waktu ini. Ia menyerahkan sebuah dokumen pada Amerika, dokumen berisi tanda tangan dan perjanjian yang telah beberapa negara setujui.

Non-Proliferation Treaty?” tanya Perancis.

Britania mengangguk. “Suruh Korsel datang ke sini sekarang. Kita akan membujuknya untuk menandatangani NPT,” ucapnya kemudian.
***

Non-Proliferation Treaty (NPT) adalah perjanjian yang berisi kesepakatan untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir dan penggunaannya hanya untuk tujuan perdamaian. Ide perjanjian tersebut pertama kali dicetuskan oleh Irlandia dan pertama kali diratifikasi oleh Finlandia.

“Apa aku harus menandatangani ini?” tanya Korsel heran saat Amerika menyodorkan sebuah dokumen dan proposal NPT.

“Iya, hal ini demi kebaikan kita semua,” jawabnya tegas.

“Walaupun aku baru saja memiliki NC? Aku tidak seberbahaya itu.” Korsel menjawabnya dengan sinis. Ia tidak habis pikir kenapa tiga negara besar ini sampai rela mengundangnya ke rumah Amerika. Setaunya, rumah Amerika hanya sering dimasuki oleh negara-negara penting dan besar.

“NC atau nuklir macam apapun, baru atau lama, kita harus menyepakati perjanjian ini. Dan juga aku tidak akan lagi membantumu dalam mengembangkan NC,” ucap Perancis.

Korsel menghela napasnya. “Baiklah, kalau begitu aku berhenti meneliti dan mengembangkan NC,” ucapnya lalu menggoreskan tanda tangannya pada selembar kertas putih yang mereka sebut sebagai dokumen pemelihara perdamaian.

“Kau yakin ingin berhenti menelitinya?” tanya Perancis.
Korsel mengangguk mantap sambil menyerahkan dokumen itu kembali pada Amerika yang juga agak kaget dengan pernyataan Korsel.
***

Tahun 2003
Amerika, Jepang, Britania dan Korsel ternganga.

“Aku mengundurkan diri dari NPT,” ulang Korut sekali lagi, untuk meyakinkan mereka.

“K-kenapa?!” tanya Amerika.

“Aku tidak suka dibatasi oleh negara lain,” Korut merobek dokumen yang pada 1985 ia tanda tangani, membuat bungkam saudara kembar dan tiga negara besar itu.
***

Tahun 2006
Hari ini adalah hari terpenting kedua bagi Korut setelah hari ulang tahunnya. Rudal NC yang telah ia kembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu, akhirnya hari ini akan meluncur menembus langit dalam uji coba ledakan. Perasaan bangga memenuhi dadanya, akhirnya ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak patut untuk diremehkan oleh para negara barat.

Beep.. beep…

Korut merangkai kalimat dalam pesan singkat di ponselnya.

Klik… Terkirim.
***

Cina berlari dari dapur ke kamarnya ketika mendengar lagu Gong Ji’ou menggema dari ponselnya. Tangannya menggapai ponsel yang ia letakkan dia atas meja kerjanya dan menggerakkan jemari untuk membuka pesan singkat dari seorang teman yang telah lama dikenalnya.

“Hah?” Kelopak mata Cina berkedip dengan cepat. Ia seperti tidak percaya akan apa yang dibacanya. Ia membacanya pesan singkat itu sekali lagi.. kali ini keringat dingin mengalir di dahinya.

Lelaki berpupil gelap itu segera mengambil buku kecil dari laci mejanya. Ia membuka lembaran demi lemabaran kertas dengan terburu-buru hingga menemukan sebuah goresan nomor telepon.

“01-201-23..”

Tuuuut….

Tersambung.

“Halo, Amerika?”
***

Amerika, Jepang, Britania dan Korsel berkumpul di rumah Rusia setelah setengah jam yang lalu Amerika mendapat telepon dari Cina yang memberitahukan jika Korut akan menguji NC-nya hari ini, tepatnya pukul 9 pagi.

“Korut tidak mengatakan apapun padaku tentang uji ini,” kata Rusia.

“Kamu benar-benar tidak tahu kemana Korut akan meluncurkan NC-nya?”

Korsel menggeleng menanggapi pertanyaan Jepang. “Hubunganku dengan Korut sangat buruk.” Ia menekankan pada kalimat ‘sangat buruk’.

“Ini akan jadi masalah besar jika NC yang diluncurkan Korut bermassa besar.” Britania mengutak-atik ponselnya. “Tapi kupikir massa-nya tidak akan lebih dari 5 kiloton,” sambungnya kemudian.

“Apalagi setelah Series 9559 berakhir, aku tidak pernah campur tangan lagi dalam pengembangannya,” ungkap Rusia.

Grrrrrrhhhhh….

Suara gemuruh itu membuat Amerika, Jepang, Korsel, Britania dan Rusia saling memandang satu sama lain. Setelah itu Amerika memandang keluar jendela dan menemukan sebuah rudal berwarna baja meluncur membelah putihnya awan.

“Sudah mulai, huh?” Amerika dan Britania bergegas mengambil jas mereka dari ruang penyimpanan pakaian tamu milik Rusia.

“Aku tidak tahu apa yang bisa kita lakukan, tapi setidaknya kita harus menemui Korut sekarang dan memintanya menjelaskan apa motif dari uji ini.” Korsel mengikuti Amerika dan Britania yang telah berjalan keluar dari rumah Rusia.

“Benar. Toh, kalau dia punya motif berbahaya hal itu akan mengancam keamanan kita yang rumahnya berdekatan dengan Korut,” susul Jepang.

Tinggal Rusia sendiri, menatapi rudal NC yang dulu ia berikan pada Korut telah meluncur ke langit. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku celana, lalu menekan tombol ‘panggil’ saat barisan nomor muncul di layar ponselnya.

“Cina? Kamu juga lihat? Ya, sekarang Amerika, Jepang, Korsel dan Britania sedang menuju ke sana. Aku? Hm, mungkin sebentar la-.”

Terputus.

Rusia berdecih lalu mengambil topi-nya dan bergegas menyusul keempat temannya yang telah pergi terlebih dahulu. Ia berusaha menelpon Korut namun tidak tersambung karena Korut mungkin mematikan ponselnya, atau mungkin karena jaringan yang terganggu akibat rudal NC.

“Apakah ini jalan yang kamu pilih, Korut?”***

Prologue


     Hentakan sepatu kaca berwarna kelabu itu meraum miris dalam labirin tak berujung. Sang empunya menggigit bibir ranumnya sambil menyipitkan mata. Dentuman jantung yang mengalahkan letupan gunung Hawaii saat erupsi itu terasa memakan nadi-nadinya. Napasnya memburu, pupil senada jamrud itu berkedip lebih banyak dari biasanya.

     Bayang-bayang hitam tanpa kepala bertunggang kuda mengejarnya dengan penuh gairah. Bayang-bayang itu pasti akan mengejarnya sampai ke ujung dunia. Entah dunia mana. Dirinya terlalu nikmat untuk dilewatkan oleh mereka. Dirinya terlalu kuat untuk diabaikan oleh mereka. Namun, sebenarnya mereka tidak akan bisa semudah itu menyantapnya, itu sama saja dengan bunuh diri.

     Entah sudah berapa ribu purnama ia lewati. Hidupnya terlalu kekal untuk menghitung waktu, toh ada kemungkinan jika hidupnya tidak akan pernah berakhir. Namun, dari beribu purnama itu baru kali ini ia terjebak dalam labirin dimensi. Ia tidak tahu mengapa. Beribu kemungkinan berdesak dalam pikirannya.

    Bayang-bayang hitam tanpa kepala yang sebenarnya merupakan ksatria awal zaman itu terus mengejarnya. Buruk. Ia telah berada di labirin ini terlalu lama. Lebih lama lagi ia terperangkap di sini maka labirin penghubung dunia ini akan runtuh karena tak kuasa menahan gesekan antara kekuatannya dan segel dimensi.

     Ia terlalu sakti, kah? Sekelumit penyesalan menyerbu hatinya karena pergi melintasi labirin ini seorang diri. Seharusnya ia pergi bersama Gawain dan Galahad seperti biasanya.. Ya, seharusnya.

      Hm.. Jika diingat dulu ia bertemu dengan dua pemuda itu di labirin dimensi ini. Satu abad yang lalu mungkin. Ia menemukan Gawain dan Galahad tergeletak di sisi dinding labirin. Entah mereka ingin pergi kemana namun yang jelas mereka berdua terlalu lemah untuk melintasi labirin ini, kebalikan dari dirinya yang terlalu kuat. Karena itu dulu dirinya menawarkan untuk menyelamatnya mereka dengan satu syarat; Gawain dan Galahad harus mengabdi padanya selama-lamanya. Ajaibnya, kedua pemuda itu langsung menyetujuinya, tanpa negosiasi apapun.

     Sejak saat itu ia tidak pernah sendiri ketika melintasi labirin dimensi. Selalu ada Gawain dan Galahad yang menemaninya, bekerja sebagai penetral yang secara otomatis akan meyerap seperempat dari kekuatannya, menjamin labirin dimensi ini tidak goyah ataupun hancur.

     Sang penyihir menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ah, ia bahkan bisa merasakan keringat juga mengalir di sela-sela rambut indah berwarna emasnya. Wajah jelitanya yang menipu takdir usia itu terlukis perasaan khawatir. Sang penyihir melirik gaunnya yang berwarna seindah bukit harapan. Sang penyihir benci mengetahui gaun favorite-nya kotor terseret tanah becek dalam labirin ini.

     SIIINGG...

    “Ah, ini kan..”

  Sang penyihir menatap cincin bertahta permata Kooh-i-Noor yang melingkar manis pada jari telunjuknya. Permata itu bersinar kekuning-kuningan, pertanda jika ada seseorang yang memanggilnya. Seseorang dengan kekuatan yang hampir sepadan dengannya.

     Tetapi ini bukan saatnya untuk menjawab panggilan itu kan? Prioritasmu adalah untuk bisa keluar dari labirin dimensi ini secepat mungkin.

     “Aku hanya memiliki dua pilihan, huh?” ucap sang penyihir ketika langkahnya terhenti di sisi jurang batas akhir dari labirin ini.

     Sekarang ia hanya memiliki dua pilihan; melepas cincinnya dan menerima panggilan dari seseorang itu atau melompat ke dasar jurang meski ia tidak tahu ada apa di ujung jurang itu.


***
Notes :
 Jadi ini adalah Choice-Novel. Bagaimana cerita selanjutnya ditentukan oleh hasil polling yang berada di sisi kanan atas blog ini. Silahkan vote tindakan apa yang menurut kamu harus dilakukan oleh sang karakter dalam cerita ini.

Anggi Widyastuti
@anggiwdyst

Rabu, 27 Maret 2013

Mencoba Berwirausaha melalui 8rave!

Yap, jadi sejak Februari lalu aku dan dua orang temenku, Tantri dan Liya, mulai mencoba berwirausaha. Dalam hal ini kami memilih usaha tas tapi bukan jadi reseller dari pemasok lho! Benar-benar wirausaha, jadi kami medesain dan memproduksi sendiri tas yang akan dijual. Kenapa? Soalnya kami ga mau mainstream dengan menjual barang yang udah banyak beredar di pasaran. Lagipula menurut aku, yang paling sering belanja online di antara kami bertiga, barang-barang yang dijual online itu biasanya kurang eksklusif dan lack idea. Padahal konsumen terkadang ingin memiliki barang yang ga banyak yang nyamain. Intinya ga mass product lah. Pasti seneng kan punya barang yang ga banyak orang lain pake, ada rasa bangga gitu kan? Hehe..

Maka dari itu.. Lahirlah 8rave! Jadi nama brand kami tuh 8rave! Ini adalah hasil dari pemilihan yang awalnya ada 8less, dReamer sama PassiQue juga. Terus menciut jadi 8rave! dan 8less hingga akhirnya terpilihlah 8rave! Yaaaay~

Sebenarnya yang awalnya gagasin bikin usaha adalah Tantri. Katanya dia lagi pengen dapet tambahan uang jajan dan ngajak Liya untuk usaha sesuatu. Nah, pas itu aku denger dan bilang "Ajak aku juga dong!" Hahaha.. dari dulu aku memang suka ikut-ikut usaha. Aku juga usaha jual DVD Anime dan penghasilan lumayan banget dari sana tetapi ada yang kurang gitu kalo jual DVD aja. Soalnya kan kalo jual DVD ga ada resiko dan tantangan juga ga ada inovasi.

Sesuai dengan pelajaran ekonomi yang dipelajari di sekolah kami ingin menjadi wirausahawati(?) yang baik sesuai dengan ciri-ciri wirausaha yaitu:

  1. Percaya diri. Yaitu memiliki keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas dan optimisme
  2. Berorientasikan tugas dan hasil. Kebutuhan akan prestasi berorientasi laba, 
    ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, dan 
    inisiatif
  3. Berani mengambil resiko serta menyukai tantangan
  4. Kepemimpinan : bertingkah laku sebagai pemimpin dapat bergaul dengan orang lain 
    menanggapi saran serta kritik dan menggunakannya sebagai pemacu untuk lebih baik
  5. Keorsinilan. Inovatif dan kreatif fleksible, punya banyak ide yang menarik
  6. Berorientasi ke masa depan.

Oke kembali ke masalah 8rave! nama ini yang akhirnya terpilih. Sebenarnya dibaca Brave artinya berani. Terus kenapa pakai angka '8' karena kami cuma membuat 8 buah tas dari setiap desain. Yup, sangat limited! 


Nah terus tas macam apa sih yang diproduksi 8rave!?Kami memproduksi tas dengan menggunakan motif suku-suku di Indonesia. Kan sekarang lagi musim    tribal tuh, sebenarnya Indonesia juga punya banyak motif yang kece dan unik untuk dijadikan penghias tas, dompet bahkan pakaian.
Apa kelebihan produk dari 8rave!?Kami hanya memproduksi 8 tas setiap desain dan tidak akan ada restock. Sangat limited edition! Kami juga berusaha membuat tas dengan desain yang up-to-date agar tas yang kami buat lebih disukai konsumen muda. Meskipun menggunakan motif daerah, kami telah memilih motif yang sesuai dengan tas yang akan diproduksi. 
Yang ingin dicapai oleh 8rave!?Kami ingin membuat generasi muda Indonesia dapat mengenal dan mencintai motif-motif daerah dan memakainya dengan perasaan bangga! Kami ingin menghilangkan mindset kalau motif daerah itu kuno, murahan dan hanya dipakai oleh orang tua saja. 
Catch-phrase 8rave!?Be 8rave! and Proud Girls!!

Sejak Februari kemarin kami sudah berhasil menjual 7 dari 8 tas lho~
Nih tas pertama yang kami produksi. Menggunakan motif suku Toraja dari Sulawesi Selatan.

Ransel Motif Toraja
Nah, rencanaya awal Mei kami mau release desain baru! Ditunggu ya~



8rave!
LINE : Beenbin85
Instagram : 8brave
WA/SMS : 085248152488
Email : Bravebox@rocketmail.com




Selasa, 01 Januari 2013

Planetes by Egoist

Planetes
Transliterated by Lolita.
http://www.crimsonxsilk.wordpress.com

Translated by animeyay

Shizuka no umi ni hitori
Hirotta kaigara mimi ni ateta
Jitto mimi wo sumaseba
Hora
Kikoete kuru
Kimi no MESSEEJI
In a quiet sea, alone,
I put my ear against a seashell I found.
When I listen closely,
aha,
I can begin to hear
your message.
Ienakatta omoi wo
Suna ni kaite wa
Nami ga saratte yuku
I write onto the sand
my feelings that I kept from you,
and let them be carried away by the sand.
Hello Hello
Koko ni iru yo
Kono monogatari no hajimari no basho de
Yakusoku dake ga kurikaeshite mo
Anata no kioku ni watashi wa zutto ikiteru
Hello Hello
I'm right here.
In this place where our story began,
even if there are nothing but our promises,
I will always be alive in your memories.
Kioku no umi ni shizumi
Kuon no toki wo watashi wa yukou
Koko kara mieru chiisana hoshi to
Mihatenu sora ni kimi wo omotte
Sinking into the sea of memories,
I'll transcend the eternal time.
Looking at the miniature planet Earth
in this boundless universe, I think about you.
Kumo no kirema kagayaku aoi furusato
Chiheisen ni kieru
My blue hometown, shining through the clouds' crevice,
disappears into the horizon.
Hello Hello
Koko ni iru yo
Kono monogatari no hajimari no basho de
Doredake toki ga sugiyou tomo
Anata no kioku ni watashi wa zutto ikiteru
Hello Hello
I'm right here.
In this place where our story began,
no matter how much time should pass,
I will always be alive in your memories.
Wakusei ga ochiru koro
Anata to watashi  hikareatte
Kanarazu mata aeru
Ano yakusoku no basho de
When the planets begin to fall into ruins,
you and I, pulled by each other's attraction,
will definitely be able to meet again
in that place of our promise.
Hello Hello
Koko ni iru yo
Denshi wo tadotte hajimari no basho e
Yakusoku dake ga kurikaeshiteru
Anata ni au tame tabi wo tsuzukeyou
Hello Hello
I'm right here.
Following the electrons, I'm on my way to the place of our beginning.
I have nothing but our promises,
but in order to meet you, I'll continue my journey.
Watashi wa sora kara nagare
Kono monogatari no hajimari no basho e
Sono toki futatabi aeru darou
Ano aoi hoshi de anata ni tadoritsuku kara
I flow down from the sky
towards the place where our story began.
When I reach there, I should be able to meet you again,
for I will find my way to you on that blue planet.
  

Selfish


Selfish
“Munakata..”
            Suara itu menggelitik telingamu. Merasuk melalui rongga kecil dan sampai pada gendang telinga sebelum memperoleh respon dari otak. Kamu tidak menyambut panggilan itu dengan suara, kamu hanya menjawabnya dengan lekukan tipis di bibirmu. Itupun matamu tidak menatap orang itu.
            “Munakata..”
            Entah telah berapa bulan berlalu sejak kenangan buruk itu tercipta di ingatanmu. Tetapi orang itu berada di sini sekarang, duduk di sisi kasur dengan perban membalut mata kirinya dan beberapa jahitan bekas tertusuk pedang di dadanya. Kamu tidak bisa komplain, kan? Kamu tidak bisa komplain pada Tuhan atau bahkan pada dirimu sendiri.
            “Reishi..”
            Ah, suara itu. Kamu sangat menyukai nada yang orang itu gunakan saat memanggil namamu. Kamu mengalihkan pandanganmu dari gelapnya malam menuju merahnya rambut orang itu ketika ia tersenyum, sesuatu yang baru kali ini kamu lihat dari wajah pemalasnya. Tentunya senyum yang berbeda dari yang orang itu buat pada hari kelabu itu.
            “Akhirnya kamu berbalik,” ucap orang itu.
            “Hmm.. Apa kamu ingin aku perhatikan?” kamu mengeluarkan nada sarkastik itu lagi.
            Orang itu tertawa mendengar pertanyaanmu. Tawa hangat yang sudah lama tidak kamu dengar. Semua tentang orang itu terpatri rapi dalam ingatanmu, baik menyebalkan, benci, iri, sayang dan... cinta?
            “Selama ini hanya kamu yang mengunjungiku. Apa aku tidak punya kenalan lain selain kamu?”
            Pertanyaan itu hampir membuatmu tersedak dari teh oolong kalengan yang kamu minum. Orang itu benar-benar tidak ingat. Ia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana hidupnya.
            “Tidak.”
            Mungkin dari semua manusia yang ada di dunia kamulah yang paling terburuk. Kamu memanfaatkan amnesia orang itu sebagai sarana untuk memulai hubungan baru dengannya. Kamu menyatakan telah membunuh orang itu dengan tanganmu sendiri pada semua orang. Membiarkan semua clansman orang itu menumpuk rasa benci padamu, namun kenyataannya kamu menolong orang itu di detik terakhir sebelum pedang raksasa itu menghancurkan tubuhnya, pemandangan yang sama sekali tidak ingin kamu lihat.
            Kamu tidak memperdulikan rasa benci itu. Semenjak pedang damocles orang itu merapuh kamu tidak memperdulikan apapun selain orang itu. Iya, kan? Kali ini kamu hanya ingin menjadi penyelamat bagi orang itu, bukan mengadilinya.
            “Suoh-..” kalimatmu terhenti ketika orang itu meraih wajahmu dan melepaskan kacamatamu.
            “Kamu lebih cocok tidak memakai kacamata.”
            Kamu hanya bisa membeku menatap orang itu, meskipun matamu sedikit kabur karena pandanganmu memburuk tanpa kacamata. Berbagai hal yang kamu lewati bersama orang itu mulai terputar kembali dalam ingatanmu dan kamu hanya bisa menahan tangis ketika menyadari bahwa orang itu tidak mengingat apa yang kamu ingat.
            “Jangan menangis, Reishi..”
            Nada khawatir itu bagai pedang yang menusuk jantungmu. Kamu menyangkan orang hina sepertimu tidak pantas dikhawatirkan, setidaknya tidak pantas untuk dikhawatrikan orang itu.
            “Aku tidak menangis! Mataku hanya berair karena kamu melepas kacamataku,” bantahmu.
            Bohong. Di ujung pintu ini aku bahkan bisa melihat ekspresi sedihmu serta genangan air mata yang menumpuk di pelupuk matamu. Kamu memang pembohong. Pembohong nista yang berpura-pura bahagia dengan kehidupan yang kamu jalani.
            Kenapa kamu tidak bisa jujur? Aku memang tidak pernah mengerti perasaanmu, karena itu aku hanya bisa berdiri di sini melihat sisi dirimu yang berbeda di depan orang itu.
            “Reishi, mungkin aku tidak mengingat apapun. Tetapi aku tahu satu hal..” pria yang dulunya merupakan The Red King itu mengusapkan kedua tangannya ke pipimu sebelum menyambung kalimatnya, “Munakata Reishi adalah seseorang yang penting bagiku, baik aku yang dulu maupun aku yang tidak mengingat apapun saat ini.”
            Kamu tidak tahu mengapa dari dulu orang itu selalu bisa merebut hatimu. Kamu juga tidak tahu mengapa orang itu telah memiliki ruang sendiri di dalam hatimu. Dan kamu juga tidak tahu kenapa kamu mau memberikan kunci ruangan itu padanya sehingga orang itu bisa masuk sesukanya dalam hatimu.
            “This time.. Only this time can I be selfish?” gumammu saat orang itu memelukmu dengan hangat.
            Selfish, huh? Aku sedikit terkejut ketika kamu bisa mengucapkan kalimat itu. Aku bahkan menyenggol suster manis yang ingin mengganti infus orang itu dan menahannya agar tidak masuk.
            “Tentu saja. Semua orang berhak bersikap egois, bahkan kapten Scepter-4 sepertimu sekalipun.”
            Kamu menenggelamkan wajah tampanmu ke dada orang itu hingga kamu bisa mendengar detak jantungnya. Kamu telah melalui banyak hal, kan? Karena itu kali ini kamu hanya ingin sedikit egois dengan tidak memberitahu HOMRA, aku atau siapapun bahwa orang itu masih hidup.
            Just this time you want to be selfish. You want to keep that man, Suoh Mikoto, all by yourself. And that’s okay, right? Even for me, a mere lieutenant, your actions have no wrong at all, though I don’t have right to judge you.**

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design