Jumat, 28 Mei 2010

Tangkai Ketiga


Aku telah bersumpah pada diriku sendiri,
bahwa aku akan menepati janjiku padanya..
Nishizawa Reza A
***
            Matahari sedang mengintip di balik awan ketika seorang pemuda dengan seragam sekolah lengkapnya dan tas selempang berwarna merah melintas di taman Gilbert Choze. Pemuda itu celingukan memandangi sekitarnya dengan wajah bingung. Beberapa saat kemudian pemuda itu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal lalu duduk di salah satu bangku taman yang di cat senada dengan jejeran rumput rapi di sekitarnya.
            Beberapa siswa dan siswi yang lewat menatap pemuda itu aneh. Mereka menatap pemuda itu bagai orang asing, namun aja juga yang menatapnya dengan mata yang berbinar-binar hingga membuatnya menjadi tidak nyaman berada di taman itu. Apa ada yang aneh denganku? pikirnya bingung. Sejak pertama ia memasuki gerbang sekolah elite ini hampir semua mata tertuju padanya. Ia mungkin tidak sadar dengan style-nya yang berbeda dengan yang lain. Seorang pemuda dengan rambut mohawk agak kecokelatan yang asli tanpa disemir dengan mata hitam jernih yang agak sipit dan kulit putih sedikit pucat memang baru pertama kali ini ada di Gilbert Choze dan pastinya hal itu akan mengundang ketertarikan siswa lain untuk memandangnya.
            Pemuda itu menghela napas ketika tenggorokannya sudah terasa kering. Berkeliling Gilbert Choze ditambah dengan cuaca panas Jogja telah membuatnya dehidrasi. Kepalanya mulai pusing, ia tahu kalau Gilbert Choze adalah sekolah elite nan luas tapi ia tidak menyangka untuk mencari kantor kepala sekolah saja bisa sesulit ini. Wajah pemuda itu berubah cerah ketika seorang gadis dengan rambut hitam lurus sebahu duduk di sampingnya untuk mengikat salah satu tali sepatunya yang lepas, mungkin ia bisa bertanya pada gadis itu.
            "Hai.." sapanya pada gadis itu. Gadis itu melirik sebentar ke arah pemuda itu lalu kembali ke aktivitas awalnya, mengikat tali sepatu. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan alisnya ketika sapaannya ditanggapi dingin oleh gadis itu.
            "Ruang kepala sekola ada di mana ya?"
            Gadis itu akhirnya menjawab, "Lantai 3, di sebelah ruang tata usaha."
            Pemuda itu segera bangkit dari bangku taman yang masih di duduki gadis itu. "Terima kasih," pemuda itu melirik jahitan nama yang terbordir di seragam gadis itu lalu tersenyum, "Raya.."
***
            Suasana kelas yang tadinya gaduh berubah sunyi ketika Pak Hendry masuk. Suara dehaman kepala sekolah Gilbert Choze itu mampu membuat bisu 35 siswa kelas IX IPS B yang tadinya asyik dengan obrolan masing-masing.
            Suara bisik-bisik mulai muncul kembali ketika Rendy dengan seorang pemuda bertas selempang merah masuk ke dalam kelas. Seketika itu juga berbagai tatapan terarah pada pemuda asing itu. Raya melirik siswa baru itu sejenak dan langsung mengenali bahwa orang itu adalah orang yang tadi pagi menanyakan ruang kepala sekolah padanya. Pemuda itu tersenyum pada Raya namun hanya dibalas gadis itu dengan tatapan dingin.
            "Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru. Dia pindahan dari Jepang, silahkan." Pak Hendry memberi aba-aba pada siswa baru itu untuk memperkenalkan diri sedangkan Rendy memberi aba-aba agar teman-temannya diam sebentar.
            "Perkenalkan, namaku Nishizawa Reza. Biasanya jika di Jepang orang memanggilku Nishizawa-kun atau Nishizawa-san, tapi karena ini Indonesia kalian cukup memanggilku Reza. Kuharap kita bisa jadi teman akrab." Reza tersenyum menatap teman-teman di sekolah barunya itu. Logat bahasa Indonesianya memang agak aneh, dan kurang pasif bahkan ada beberapa kata yang sangat sulit ia ucapkan.
            "Orang Jepang kok bisa bahasa Indonesia?" celetuk Satria.
            "Waktu kecil aku sempat tinggal di Indonesia selama 2 tahun dan juga karena ibuku asli orang Indonesia, orang Jogja."
            Satria mengangguk paham, begitu juga dengan siswa lainnya.
            Tak lama kemudian Pak Marwan, wali kelas IX IPS B, ikut bergabung bersama Pak Hendry melihat acara perkenalan diri siswa baru bernama Reza itu. Melihat Pak Marwan telah datang, Rendy langsung menghampiri beliau dan menanyakan tentang tempat duduk untuk Reza, begitulah kewajibannya sebagai ketua kelas.
            Pak Marwan menghampiri Reza yang masih berdiri di depan papan tulis. Guru yang tingginya tidak lebih dari bahu Reza itu lalu menunjuk ke arah meja di samping Raya.
            "Kamu bisa duduk di sana, di sebelah Raya."
            Raya tercengang ketika namanya disebut. Gadis itu lalu melirik meja di sampingnya. Ia tidak pernah menyangkan bahwa meja yang selalu kosong itu akan terisi sekarang, meja yang menjadi saksi bisu atas kesepiannya selama ini.
            Reza mengucapkan terima kasih pada Pak Marwan lalu melangkah menuju ke meja yang di tunjuk Pak Marwan tadi. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan siswa lain yang tajam pada Raya namun hebatnya gadis itu tidak memperdulikannya sama sekali. Bahkan ia melihat gadis itu menekan tombol pause pada iPod nano-nya.
***
            Meja yang akan menjadi milik Reza penuh dengan debu dan dari sana ia bisa menebak bahwa meja ini sudah lama tidak terpakai. Ia merobek bagian tengah salah satu buku tulisnya yang masih kosong lalu melap debu-debu dari meja itu dengan kertas tersebut walau kadang sedikit terbatuk.
            Pak Marwan dan Pak Hendry akhirnya meninggalkan kelas, dan hal itu sudah pasti membuat kelas menjadi gaduh kembali hingga membuat Rendy kembali kewalahan menegur siswa-siswa yang susah diatur ini. Reza hanya bisa iba melihat Rendy yang diacuhkan oleh siswa lain.
            Di tengah kegaduhan itu Reza menghampiri Raya yang kembali asik dengan iPod dan pikirannya sendiri. Reza menatap wajah Raya sesaat lalu menarik kursinya mendekati Raya.
            "Ngapain?" tanya Raya datar walaupun sebenarnya ia kaget karena ketika ia berpaling dari jendela sudah ada Reza duduk di depan samping kanan mejanya.
            "Mau ngajak kenalan."
            Raya bengong. "Emangnya perlu?"
            "Yaiyalah, perlu banget malah." Reza mengulurkan tangannya pada Raya, mengajak gadis itu untuk berjabat tangan.
            Dengan sedikit agak ragu Raya menyambut jabatan tangan Reza. Ketika tangannya menyentuh tangan Reza ia merasakan suatu kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, suatu kehangatan yang telah hilang dan mati bersama kakaknya, Sara.
            Aku Ame..
            "Aku Nishizawa Reza, panggil aja Reza."
            Raya tertegun, mata hitam jernihnya membulat lalu dengan refleks ia langsung memandang wajah Reza dan menggenggam tangan Reza dengan erat. Reza dengan wajah bingungnya hanya diam dengan kelakuan aneh Raya. Raya merasa sangat nostalgia sekarang, entah kenapa. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa mengingat perkenalannya dulu dengan Ame karena orang ini.
            "Ame.." gumam Raya pelan namun masih bisa terdengar oleh Reza.
            "Ame? Siapa itu? Kamu sakit?" tanya Reza yang lebih tinggi berpuluh-puluh centimeter dari Raya itu.
            Raya segera menggeleng setelah sadar apa yang ia katakan. "Tidak, bukan siapa-siapa kok," jawabnya. Reza hanya ber-oh ria tanpa melepaskan jabatan tangannya dari Raya. "Lalu, nama kamu siapa?" tanya Reza padahal ia sudah tahu dari bordiran nama di seragam Raya.
            "Namaku Raya Paradhita."
            "Mari berteman baik, Raya!" seru Reza sambil terus menjabat tangan Raya yang hanya bisa tersenyum tipis.
***
            Pagar rumah keluarga Sastroyo terbuka lebar ketika Reza sampai di rumah Omnya itu. Ia melihat sebuah mobil kijang kotak tahun 2000an terparkir pada halaman rumah bertingkat dua itu dan itu berarti sedang ada tamu yang datang. Dengan perlahan Reza memasuki rumah itu dan sebuah senyuman hangat yang khas siap menyambutnya dari balik pintu jati tersebut.
“Selamat datang,” ucap seorang pria dengan kisaran umur antara 35-40 tahun berpakaian jas  dan dasi rapi ala pengusaha elite .
Reza hanya membalas sapaan pria itu dengan senyuman. Ia tidak banyak bicara dengan pria itu, Deny Sastroyo, atau Omnya karena sedikit merasa sungkan dan malu. Ia malu karena tinggal di rumah  Deny secara gratis, disekolahkan, bahkan diperlakukan seperti anak sendiri.
Deny memang belum menikah, pria itu terlalu sibuk dengan urusan bisnis batubaranya hingga tidak mempunyai waktu untuk memikirkan masalah pendamping hidup. Deny adalah adik dari ibu Reza, Dinda Sastroyo, yang telah meninggal setahun yang lalu karena sebuah kecelakaan.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah?” tanya Deny, ia merangkul hangat keponakannya itu lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tamu.
“Menyenangkan, walau agak risih dipandangin terus sama beberapa siswa lain,” jelas Reza. Ia melihat ada seorang pria juga duduk di sofa yang terpisah dengannya dan Omnya. Pria itu memakai jas putih yang segera disadari Reza bahwa dia adalah seorang dokter dengan rambut cepak belah kiri yang sangat rapi dan sebuah kacamata yang membingkai wajahnya. Reza menduga bahwa pria itulah pemilik mobil kijang yang terparkir di halaman tadi.
“Mungkin karena wajah oriental dan warna rambutmu itu.” Deny mengusap kepala Reza dengan lembut, sama seperti yang dilakukannya saat Reza masih kecil dan hal itu membuatnya teringat akan ibunya yang juga selalu mengusap rambutnya setiap ia pulang sekolah.
“Om, ada tamu ya?” tanya Reza setelah melihat seulas senyum yang tidak kalah hangatnya dari dokter berkacamata yang daritadi hanya diam melihat keakrabannya dengan Deny.
Deny segera menepuk dahinya setelah menyadari bahwa ia melupakan seseorang yang sejak tadi hanya memperhatikan Reza dengannya. “Ah ya, ini Dokter Ferdi. Dia adalah dokter pribadiku.” Reza segera menyalami Dokter Ferdi dengan sopan walaupun ia terbiasa dengan budaya Jepang yang saling membungkuk ketika berkenalan tapi ia tetap mencoba untuk mengikuti kebiasaan tempat tinggalnya sekarang.
“Mirip sekali dengan Dinda,” komentar dokter berusia 45 tahun itu. Reza menanggapinya dengan senyum  tipis setelah sedikit terkejut karena Dokter Ferdi ternyata mengenali ibunya. “Anda kenal dengan ibu saya?” tanya Reza agak canggung dengan bahasa indonesia yang formal.
Dokter Ferdi mengangguk pelan. “Kami dulu satu SMA, aku berteman baik dengannya,” jelasnya. Entah kenapa suasana berubah menjadi agak dingin sekarang, bahkan ekspresi wajah Deny berubah sendu.
Mengetahui suasana yang berubah menjadi tidak enak Reza segera mengalihkan pembicaraan. “Om sedang sakit? Kenapa sampai memanggil Dokter Ferdi segala?” tanyanya.
“Tidak, aku memanggil Ferdi karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya.”
“Oh, kalau begitu aku ke kamar dulu. Aku ingin beristirahat sebentar karena nanti sore aku mau jalan-jalan di sekitar sini,” kata Reza lalu pamit meninggalkan Deny dan Dokter Ferdi. Sebelum meninggalkan ruang tamu mewah itu Reza sempat melirik sebuah dokumen yang berada di atas meja kaca persegi di depan Dokter Ferdi. Ia tahu dokumen tebal itu, dan bisa dibilang ia sangat membencinya. Ia benci karena dokumen itu adalah dokumen kesehatannya, sebuah dokumen yang membuktikan bahwa dirinya tidaklah normal. Sekarang ia tahu mengapa Omnya memanggil Dokter Ferdi ke rumah.
***
Keadaan rumah telah sunyi ketika Reza keluar dari kamarnya. Hanya tampak beberapa pembantu rumah tangga yang terlihat sibuk mengangkat gelas-gelas sisa minuman dari ruang tamu ke dapur. Reza sedikit mengucek matanya. Ia sempat tertidur tadi padahal awalnya ia berencana ingin membaca sebuah novel yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah.
“Bi, Om kemana?” tanya Reza pada Bi Yuni, salah seorang pembantu di rumahnya.
“Tadi pergi sama Dokter Ferdi, mas. Ngga tau kemana,” jawab perempuan paruh baya dengan gurat kerutan di wajahnya yang tampak lebih tua dari umurnya sebenarnya. Reza mengangguk lalu menyuruh Bi Yuni kembali ke pekerjaannya.
Reza kembali masuk ke kamarnya lalu mengambil sepasang sepatu kats putih dari dalam lemari sepatunya. Seperti rencana awalnya, ia ingin berkeliling sekitar komplek rumahnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitar sini dengan sepeda yang kemarin diberikan Deny, sebuah sepeda gunung berwarna kuning yang tadi pagi juga ia kendarai ke Gilbert Choze.
***
Rambut kecoklatan Reza tertiup angin sepoi ketika ia mengayuh sepedanya semakin kencang. Matanya yang sudah sipit juga bertambah sipit karena ia menyipitkan matanya agar tidak terkena debu jalanan. Ia telah bersepeda mengelilingi komplek Bima Jaya selama satu jam dan pemandangan yang ditemukannya hanyalah pemandangan klise sebuah perumahan elite.
Reza ingin melihat perkampungan Jogja biasa. Ia ingin melihat potret-potret wajah orang Indonesia biasa yang selalu dibanggakan ibunya. Untuk itu akhirnya Reza memutuskan untuk bersepeda keluar komplek. Menurut Bi Yuni ada sebuah perumahan kecil di dekat Bima Jaya dan di sana terdapat banyak sawah yang masih hijau.
Reza sangat menyukai sawah dan gunung. Ia pernah beberapa kali mendaki gunung Merapi bersama ibu, adiknya dan Deny saat ia berumur 12 tahun dan tinggal di Jogja. Ia juga suka sawah, ia senang melihat segerombolan orang berpakaian sederhana dan bertopi kecapi memasuki sawah, menaburi padi-padi dengan pupuk kompos, membajak sawah dengan kerbau, ia menyukai semua ketradisionalan itu.
Kayuhan sepedanya berhenti ketika berada di depan sebuah gang kecil. Mata hitam pekatnya menangkap seseorang yang ia kenal sedang berdiri di depan sebuah toko kelontong dengan membawa sebuah keranjang belanja plastik berwarna biru.
Bibir Reza tersenyum simpul. Pemuda itu lalu mendekati gadis dengan dress putih polkadot hitam sederhana yang masih asyik memilih makanan ringan di toko kelontong kecil itu.
“Raya..” sapanya pada gadis yang ternyata Raya itu.
Raya berbalik memandang Reza dengan heran. Matanya melirik Reza dengan sepeda gunung kuningnya sejenak lalu bergegas pergi dari toko kelontong itu setelah menerima uang kembalian dari sang penjual. Ya, Raya tidak menghiraukan Reza.
Tidak kehilangan akal Reza mengikuti Raya dari belakang dengan pelan. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu mengacuhkannya tapi itu bukan berarti bisa menghalanginya untuk berteman dengan gadis itu. “Hei, setelah ini kamu mau kemana?” tanya Reza.
“Bukan urusanmu,” jawab Raya dingin. Sesekali ia menggonta-ganti tangannya yang membawa keranjang belanja yang terisi penuh itu, mungkin karena pegal membawa keranjang seberat itu.
“Sini biar kubawakan.” Reza mengambil keranjang belanja Raya lalu menggantungnya di stang sepeda gunungnya. Walau agak keberatan Raya tidak bicara apa-apa karena memang tangannya sudah pegal membawa keranjang belanja itu.
Raya melirik Reza yang sekarang hanya menuntun sepedanya dan berjalan berdampingan bersamanya. Ia memperhatikan wajah Reza dengan seksama, lumayan tampan, pikirnya.
“Rumahmu di mana?” tanya Reza memecah pikiran Raya.
“Di sana.” Raya menunjuk ke arah sebuah pintu gerbang perumahan kecil dengan tulisan “Perumahan Asri Bintara”.
Reza mengangguk paham. “Kuantarkan sampai rumah ya,” katanya dengan senyum ramah yang membuat Raya merasa hanyut terbawa senyuman pemuda itu.
“Terserah,” jawab Raya datar.
Diam-diam terbesit perasaan senang dalam hati Raya. Ini pertama kalinya ada orang seumurannya yang mau berbicara dengannya, yang baik terhadapnya, dan yang mau tersenyum tulus padanya.
“Ada apa?” tanya Reza yang menyadari bahwa Raya sedang bengong dan hanyut dalam pikirannya sendiri. Raya hanya menjawabnya dengan satu gelengan kepala lalu berjalan mendahului Reza yang menuntun sepedanya.
Reza tersenyum melihat tingkah malu-malu Raya. Ia menatap tubuh Raya yang mungil namun indah itu dari belakang. Ia ingin melihat Raya tersenyum walaupun hanya sekali, ia ingin melihat Raya tersenyum seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu.

Senin, 17 Mei 2010

Tangkai Kedua

Aku hanya ingin ada seseorang yang bisa mengerti aku
Hanya itu.. Tidak lebih...

                                                                                                                       Rendy Harditya
***
            Rendy Harditya. Pria berparas tangguh dengan darah bercampur Jawa-Palembang itu melepaskan kacamata Converse ber-frame hitam-putih yang telah ia pakai selama empat jam untuk membaca buku diktat Biologi yang tebalnya sekitar 600 halaman. Putra pertama dari keluarga Harditya itu sedikit memijit pelipis matanya yang terasa sangat lelah setelah membaca buku pengetahuan berbobot yang ia pinjam dari perpustakaan tadi siang. Ia lalu memandang ke meja belajarnya, sangat penuh dengan berkas-berkas tugas kesiswaan yang baru ia selesaikan setengahnya.
            Ia sangat lelah. Semua orang melimpahkan semua tugas padanya. Semua orang selalu saja menganggapnya sempurna karena memiliki otak yang encer, wajah yang tampan dan dari keluarga yang berada. Tapi sebenarnya dalam hatinya ia mengeluh. Ia mengeluh dengan tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS dan ketua kelas. Ia juga hanya manusia biasa, tidak semua hal bisa dia lakukan sendiri. Tapi sepertinya tidak ada orang yang menyadari hal itu. Semua orang di sekitarnya hanya terpaku pada nilai-nilai tinggi yang menghiasi rapornya dan pada perusahaan meubel ayahnya yang sangat sukses.
            Pria berambut hitam dengan potongan sedikit mohawk itu menghela napas lalu melangkah malas menuju ke meja belajarnya. Ia membereskan berkas-berkas yang berantakan dan berencana untuk bangun lebih pagi untuk menyelesaikan semuanya karena sekarang sudah mendekati tengah malam.
            "Sial!" gerutunya ketika selembar kertas dari tumpukan berkas yang ia bawa dengan sangat hati-hati menuju ke lemari buku terjatuh. Terpaksa ia menunduk dengan sekuat tenaga untuk mengambil selembar berkas itu agar tumpukan setinggi puluhan centimeter yang ia bawa tidak ikut jatuh.
            Akhirnya dengan penuh kesabaran ia meraih selembar kertas itu. Ia sempat melihat ada foto seorang pria dengan rambut agak kecoklatan pada kertas yang ia ambil tadi, dan karena penasaran akhirnya ia pun menyempatkan diri untuk membaca sekilas apa isi dari kertas itu. Alis hitam Rendy berkerut setelah selesai membaca kertas yang ternayata adalah boidata murid baru di Gilbert Choze itu.
            "Hmm.. Dari Jepang ya.."
***
          Tepat pada jam 7 pagi Rendy keluar dari kamarnya dengan pakaian seragam Gilbert Choze yang sedikit kusut di beberapa bagian dan sebuah tas Polo hitam yang tersampir di punggungnya. Di tangannya penuh dengan tumpukan berkas kesiswaan yang baru saja selesai ia kerjakan sejak jam 5 pagi tadi. Pria itu menguap, masih merasa mengantuk karena tadi malam hanya bisa tidur selama 4 jam dan berkat itu matanya menjadi memerah.
            Dengan gontai Rendy melangkah menuju ke ruang makan. Masih kosong. Mungkin Mamanya masih tidur dan Papanya pasti sudah pergi ke kantor lalu beberapa pembantunya mungkin sedang menyapu halaman rumah yang begitu luas. Beginlah keluarganya, keluarga yang sudah berada di ujung tanduk, keluarga yang bahkan sudah tidak bisa disebut keluarga lagi karena dirinya, Papa dan Mamanya sudah sangat jarang bertegur sapa.
            Rendy meletakkan berkas-berkas kesiswaan dari tangannya ke atas meja makan lalu duduk pada kursi jati di depannya. Ia mengambil sepotong roti yang tersaji di meja makan besar itu lalu mengoleskan selai cokelat kesukaannya. Seorang anak laki-laki berumur 13 tahun duduk di kursi samping Rendy saat ia baru menggigit secuil dari roti selai cokelatnya.
            "Ka, tolong ambilkan selai nanas itu," pinta Beny, adik Rendy satu-satunya. Rendy segera mengambil selai nanas yang berada tidak jauh dari hadapannya dan menyerahkannya pada Beny dan setelah itu sebuah kata terima kasih terucap dari bibir Beny.
            Rendy melirik seragam sekolah dengan lambang SMPN 5 adiknya dengan geli. Beny selalu saja memakai seragam dengan sembrono dan rambut hitam yang diatur dengan gel seadanya seakan sudah tidak memiliki niat untuk pergi ke sekolah lagi. Tapi pada kenyataannya memang benar. Beny sempat mogok sekolah tiga minggu karena pertengkaran yang terjadi di antara orang tua mereka. Anak seumuran Beny memang sangat terpengaruh mentalnya dengan keadaan keluarga dan untung saja Rendy segera mengantisipasinya dengan sebuah kata yang sebenarnya tidak baik untuk dikatakan pada anak berumur 13 tahun, yaitu "Anggap saja kita tidak punya orang tua". Dan bagaikan mantra sejak saat itu Beny sudah tidak pernah mogok sekolah lagi. Anak itu bahkan menjadi sangat patuh pada Rendy, kakaknya satu-satunya.
            "Tumben bangun pagi," sindir Rendy setelah menghabiskan satu potong roti selai cokelatnya. Beny mendengus kesal. Bibirnya yang belepotan dengan selai nanas pun membalas, "Hari ini ada senam pagi. Merepotkan!" keluh Beny lalu melap bibirnya dengan serbet biru di samping piringnya.
            "Benci senam seperti biasanya?"
            "Yah, aku benci menggerakkan tubuuhku mengikuti gerakan-gerakan aneh dari para guru itu." Beny melirik tumpukan berkas milik Rendy sejenak lalu mengambil selembar kertas yang paling atas. Beberapa detik kemudian sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, "Murid baru ini orang asing ya?"
            Rendy mengangguk. "Dari Jepang dan sepertinya akan sekelas dengan ku," jelas Rendy kemudian. Ia bisa melihat tatapan berbinar di sepasang mata hitam Beny setelah mendengar kata Jepang. Beny memang sangat menyukai musik Jepang bahkan dalam iPod nano 16Gb-nya hanya penuh dengan lagu jepang dan beberapa lagu barat. "Kalau dia baik nanti akan ku kenalkan padamu," kata Rendy seakan bisa membaca pikiran adiknya itu.
            "Aku berangkat dulu, Ben." Rendy mengambil tumpukan berkas di atas meja makan itu lalu mengambil salah satunya yang masih berada di tangan Beny. Sekilas Beny bisa melihat kemerahan di kedua bola mata Rendy.
            "Kak.." panggil Beny membuat Rendy memandang Beny dengan tatapan agak bingung. Anak laki-laki berkulit sawo matang itu menatap Rendy lalu melemparkan kunci mobil Rendy yang tertinggal di meja makan. "Jangan terlalu memaksakan diri," ucap Beny.
            Rendy tersenyum sambil menyambut kunci mobil Nissan X-trail yang dilemparkan Beny. "Iya, aku tahu," balas Rendy lalu meninggalkan Beny bersama ruang makan yang semakin sepi.


Tangkai Pertama

Sendiri itu bukan hal yang berat bagiku
Sendiri itu sudah menjadi bagian dari hidupku
Dan sendiri itulah yang hanya ku punyai saat ini.

Raya Paradhita
***
Raya menatap kosong keluar jendela kamarnya. Terkadang ia menghela napas beberapa kali, entah untuk maksud apa. Pagi sudah datang lagi sekarang, bersama sang matahari yang selalu setia terbit di sebelah timur dengan hawa hangat yang selalu mengundang tubuh untuk bangun dari pembaringan sementara dan juga membuat selimut penghangat tergeletak tak berguna karena hawa dingin malam telah pergi.

Ia melirik jam dinding berbentuk persegi yang tergantung pada dinding kamar kecilnya, sekedar ingin mengetahui sudah jam berapa kehidupan yang membosankan baginya itu. Dan Raya mendengus kesal ketika mendapati jam dinding –yang bisa dibilang sudah seperti rongsokan- itu sudah tidak berdetik lagi, alias mati. Raya beralih melirik jam weker yang terletak di atas meja belajarnya sekarang. Percuma, jam weker berlatar kelinci itu sama rongsokannya dengan jam dinding persegi yang mati tadi. Raya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, ia tidak pernah menyangka bisa memiliki dua barang rongsokan itu di kamarnya, benar-benar tidak berguna.

Akhirnya untuk sedikit mengobati rasa kesalnya pada dua jam tak berguna itu Raya melirik kalender digital yang terletak persis disamping jam weker rongsokan tadi. Untungnya kalender digital itu dibelikan oleh Fathir dan sudah pasti segala sesuatu yang dibeli Fathir adalah barang mahal –semenjak Fathir menjadi pengusaha yang lumayan sukses.

Bicara tentang Fathir, sekarang pria berwajah dingin itu sudah tidak tinggal bersama Raya lagi. Selain karena tidak enak dilihat tetangga jika kakak ipar dan adik ipar tinggal bersama juga karena Fathir bekerja di luar kota, tepatnya di Bandung. Fathir memiliki sebuah perusahaan jasa pengiriman di sana. Raya tidak pernah keberatan dengan hal itu, asalkan Fathir mau menanggung biaya hidup dan sekolah Raya di Jogja sendirian. Ya, Raya hanya sebatang kara, orang tuanya telah meninggal sejak ia berusia sembilan tahun dan sejak saat itu hanya Sara yang saat itu berusia sembilan belas tahun yang merawatnya. Sara bukan hanya sekedar kakak bagi Raya, tapi sudah bisa disamakan sebagai ibu. Terlebih lagi karena paras mereka berdua bisa dibilang mirip.

10 Januari 2010. Raya menatap lekat layar kalender digital berwarna abu-abu itu, berharap matanya salah lihat menjadi tanggal lain, tapi walau beberapa kali dilihat pun angka satu dan nol itu tetap tidak berubah dan hal itu membuat Raya menghela napas beratnya. Mungkin bagi orang biasa tidak ada masalah dengan tanggal 10 Januari 2010, tapi bagi Raya tanggal itu berarti dimulainya hari-hari membosankan sedunia. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester.

Raya menguap cukup lebar sebelum mengambil sebuah jepit rambut berbentuk bunga aster ungu di atas meja riasnya. Perlahan ia menggulung rambut hitam sebahunya yang tidak terlalu panjang lalu menjepitnya dengan jepitan rambut tadi dan melangkah menuju ke kamar mandi.
***

Raya Paradhita. Nama itu yang terbordir di bagian kiri dada baju seragamnya. Paradhita adalah nama belakang ayahnya yang sejak turun temurun diwariskan dari buyut hingga dirinya sekarang. Raya tidak perduli dengan itu, baginya nama bukanlah segala-galanya walaupun dia juga tidak setuju tentang pendapat Shakespear tentang apalah arti sebuah nama.
Raya berdiri di depan gerbang sekolahnya sekarang. Lengkap dengan seragam putih-abu-abu khas SMA dan tas punggung Volcom yang dibelinya dari sebuah distro di Ambarukmo Plaza.
Selamat datang hari-hariku yang membosankan! Raya tersenyum kecut. Kakinya terasa berat untuk memasuki halaman Gilbert Choze International High School. Ada rasa malas bercampur muak yang ia rasakan, ia malas bertemu dengan anak-anak di kelasnya yang sombongnya mungkin melebihi standar kesombongan nasional, jika ada. Baiklah, ia memang mengakui mayoritas anak di kelasnya adalah kaum borjuis yang tajir minta ampun.

Bukan salah mereka jika mereka sombong karena memang Gilbert Choze International High School adalah sekolah yang isinya hampir semua kaum borjuis yang pergi ke sekolah hanya untuk bersenang-senang semata dan Raya bisa berada di sana berkat Fathir yang sedikit memaksanya sekolah di sana. Tentunya Fathir mengeluarkan banyak biaya untuk memasukkan Raya ke sekolah itu karena sekolah itu adalah SMA swasta. Tidak kurang dari tiga juta yang dikeluarkan Fathir tiap bulan untuk biaya SPP, uang bangunan, buku dan lain sebagainya.
Sebenarnya bukan hanya anak orang kaya yang sekolah di sana. Ada sebuah perkumpulan bernama Great Commoners yang isinya adalah anak-anak orang biasa yang bisa sekolah di Gilbert Choze karena beasiswa atas kepintaran mereka. Tetapi walaupun ada perkumpulan seperti itu nama Raya Paraditha tidak pernah tercatat sebagai anggota karena ia memang malas mengikuti perkumpulan –yang menurutnya bodoh- seperti itu dan juga karena dia bukan siswi yang mendapat beasiswa.

Kembali ke keadaan Raya yang masih terdiam di depan gerbang sekolah. Sudah hampir sepuluh menit berlalu dan Raya belum juga melangkah memasuki Gilbert Choze. Ia hanya memandangi plang bertuliskan ‘Welcome to Gilbert Choze International High School’ yang menurut desas-desus berlapiskan emas. Raya hanya tertawa geli mendengar desas-desus seperti itu. Beginilah sekolah swasta termewah di Jogja, penuh dengan kaum borjuis yang terkadang terlihat norak di mata Raya.

Teng.. Teng.. Teng..

Raya menggerutu. Bunyi bel tiga kali berarti semua siswa harus berkumpul di lapangan sekolah secepat mungkin. Raya menghirup napas sejenak lalu mulai berlari secepat mungkin melewati beberapa siswa yang melihatnya dengan tatapan aneh. Kalau kalian berpikir untuk apa Raya berlari maka jawabannya hanya satu : jarak dari gerbang sekolah menuju ke lapangan sekolah sekitar 500 meter. Jika tidak dengan berlari maka Raya akan sampai ke lapangan itu dengan memakan waktu sepuluh menit, dan tentunya dengan waktu selama itu ia akan sangat terlambat.

Berkat kecepatan larinya yang bisa dibilang bagus Raya bisa mencapai lapangan sekolah hanya dengan waktu empat menit walau harus bermandikan keringat di seluruh tubuh mungilnya. Mungil. Dengan tinggi hanya 158cm di tengah siswa lain yang rata-rata 165cm sudah cukup untuk memanggilnya boncel ataupun midget.

Raya bisa melihat barisan-barisan rapi siswa Gilbert Choze menghadap podium besar di utara lapangan sekolah. Dan ia harus kembali berlari ke barisan kelasnya, XI IPS B, yang sialnya terletak di bagian samping kiri depan podium. Kepala sekolah Gilbert Choze, Hendry Susanto, akan memulai pidato sambutan membosankannya seperti biasa ketika Raya memasuki barisan –walau tidak bisa dibilang memasuki karena Raya baris di barisan paling belakang-. Dan seperti biasa pula tidak ada siswa yang mendengarkan celotehan basa-basi dari lelaki yang usianya telah mencapai kepala lima itu, terkecuali anggota perkumpulan kacamata tebal alias Great Commoners yang bahkan memiliki barisan tersendiri. Ya ampun, Raya hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Perbedaan kasta antara orang kaya dengan orang biasa –jika tidak mau dibilang miskin- terlalu mencolok di sini.
***

Raya menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu jati yang berdiri kokoh di pojok kelas XI IPS B. Ia bisa merasakan otot-otot kakinya menegang setelah berdiri hampir dua jam penuh. Walau ia tahu bahwa pidato sambutan dari Kepala Sekolah selalu memakan banyak waktu tapi ia tidak pernah mengira akan melampaui batas dua jam, bagaimana bisa pria paruh baya seperti Hendry tahan bercuap-cuap di atas podium selama itu apalagi dengan hanya membahas nasehat-nasehat basi tentang kebersihan dan ketekunan belajar.
Raya menghela napasnya. Satu setengah tahun sudah ia sekolah di Gilbert Choze tetapi tidak mempunyai satu teman pun. Semua siswa memiliki grup masing-masing yang terdiri dari pecinta fashion, otomotif, film dan juga grup yang isinya orang-orang super jenius. Raya tidak pernah bisa masuk dalam lingkungan grup-grup itu, di sekolah ini ia dianak tirikan karena tidak mempunyai orang tua dan sebatang kara.
Satu setengah tahun juga ia duduk di pojok kanan kelas, sendiri, tanpa teman yang bisa diajak bicara, di samping jendela yang tidak pernah terbuka karena ruangan kelasnya ber-AC. Raya tidak pernah mempermasalahkan hal itu, perasaan ingin mempunyai teman dari dalam hatinya telah menguap entah kemana bersama dengan senyumannya yang tidak pernah mengembang setelah kematian Sara. Ia memangku dagunya dengan telapak tangan kanannya. Pandangannya tertuju pada pemandangan diluar jendela kelasnya, sebuah pohon cemara. Ia senang memandang pohon rimbun yang tingginya sekitar dua meter itu. Pohon cemara itu seperti memberikan kesejukan baginya yang bosan menjalani hidup di jaman sekarang.
Suasana kelas yang agak gaduh menjadi tenang ketika guru Bahasa Indonesia Gilbert Choze, Citra Hadirja, memasuki kelas XI IPS B. Beberapa siswa yang tadinya bergerombol sekarang sudah duduk manis di kursinya masing-masing. Sedangkan Raya masih terpaku memandang pohon cemara yang dihinggapi beberapa burung gereja sambil memperbesar volume suara iPod nano yang ia pakai tanpa menghiraukan Bu Citra yang sedang mengabsen kehadiran siswa di kelasnya.

"Raya Paradhita? Apa Raya hadir?" panggil guru Bahasa Indonesia berkacamata itu. Ia mendongakkan kepalanya untuk mencari sosok Raya yang tidak menghiraukan panggilannya. Matanya yang minus menyipit ketika menemukan gadis berambut hitam itu termenung menatap keluar jendela dengan earphone yang terpasang di telinga. Bu Citra hanya bisa menghela napasnya. Ia hapal dengan kelakuan Raya, selalu saja begitu, tidak pernah memperhatikan guru yang ada di depan kelas.

Bu Citra bangkit dari kursinya dan berjalan kearah meja Raya. Perempuan setengah baya itu bisa melihat tatapan kosong di mata Raya saat ia berada di hadapan gadis itu. Bu Citra mengambil iPod nano dari saku seragam Raya dan menekan tombol pause hingga membuat Raya akhirnya berpaling memandangnya. "Ada apa?" tanya Raya malas.

"Ada apa kamu bilang? Astaga Raya, sudah berapa kali Ibu bilang kalau sedang dalam jam pelajaran kamu tidak boleh memakai iPod-mu itu. Semester baru saja dimulai tapi kamu sudah membuat masalah lagi, sebenarnya kamu niat sekolah apa tidak sih?"

Raya kembali memangku kepalanya pada tangan kirinya dengan malas, "Sudah selesai ceramahnya?" tanyanya datar. Bu Citra menggebrak meja Raya cukup keras hingga mengagetkan semua siswa di dalam kelas. "Raya, kamu itu.."

"Maaf Bu Citra, saya kira anda telah membuat keributan di kelas ini. Bisakah anda segera memulai pelajaran? Dan kamu, Raya Paraditha, jika kamu tidak berniat mengikuti pelajaran kusarankan supaya kamu keluar saja," potong siswa pria bernama Rendy sebelum Bu Citra naik pitam. Bu Citra mengelus dadanya menenangkan amarahnya yang hampir saja memuncak karena Raya, sedangkan Raya bangkit dari kursinya sambil mengambil tas dan iPod-nya yang tergeletak di atas meja lalu meninggalkan kelas yang sekarang ribut dengan bisik-bisik dari para siswa lain.

Rendy hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Raya yang diasumsikan pasti akan pulang dan tidak akan kembali ke kelas lagi hari ini padahal ia hanya menyuruh gadis itu untuk keluar pada pelajaran Bahasa Indonesia sekarang. "Kenapa gadis itu susah sekali diatur sih," katanya pelan lalu berpaling kearah Bu Citra yang telah kembali duduk di kursi guru samping kanan whiteboard kelas. "Saya sebagai ketua kelas mohon maaf atas kelakuan Raya Paraditha tadi," kata Rendy sopan.

"Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu minta maaf. Ibu yang salah karena tidak bisa menahan emosi."

"Saya harap kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi. Baiklah, Ibu bisa memulai pelajaran sekarang." Rendy kembali ke kursinya dengan tenang meskipun ia sedikit bisa mendengar bisik-bisik beberapa siswa lain tentang dirinya, ia tidak perduli. Setelah kembali duduk di kursinya ia segera mengeluarkan beberapa buku dan memasang kacamatanya.

"Apa tidak apa-apa membiarkan gadis sebatang kara itu pulang sekarang, Ren?" tanya teman sebangkunya, Satria. "Bukankah itu melanggar peraturan sekolah," sambungnya lagi.

Rendy menatap anak pemilik rumah makan itu dengan sinis. Ia tidak suka mendengar kata "Gadis Sebatang Kara" yang dicapkan siswa lain pada Raya. "Tidak apa. Aku yang akan bertanggung jawab pada kepala sekolah nanti," jawab Rendy sambil mencatat penjelasan penting dari Bu Citra. Satria tertawa geli mendengar jawaban Rendy, "Kamu itu memang ketua OSIS yang baik ya, Ren."

"Oh iya, kudengar besok ada siswa pindahan kan. Kau kan ketua OSIS jadi pasti tahu orang seperti apa siswa pindahan itu. Apa dia kaya?"

Rendy berhenti menulis dan menoleh pada Satria, "Satria, apa kamu juga mau kusuruh keluar?" Satria menggeleng dengan segera. "Kalau begitu perhatikan pelajaran dengan benar," kata Rendy tegas.

Prolouge

Rintik hujan sedikit membasahi bumi ketika orang-orang berpakaian serba hitam berdiri di hadapan sebuah gundukan tanah merah bernisan yang lebih dikenal dengan makam. Beberapa orang menangis sambil menatap makam yang mulai basah oleh tetesan rintik hujan. Ya, baru ada seseorang yang dikuburkan di sana. Tertidur tenang setelah lelah menghadapi dunia yang semakin lama semakin sulit ini.

Seorang anak perempuan berkuncir dua yang berusia dua belas tahun memeluk nisan marmer putih pada makam itu sambil terisak. Mata hitam pekat anak itu memerah dan bengkak karena terlalu lama menangis. Orang-orang yang berdiri di sekitar anak itu hanya bisa merasa kasihan padanya. Anak perempuan itu mencoba mengusap airmatanya yang tidak bisa berhenti mengalir dengan telapak tangan mungilnya. Namun percuma, karena airmatanya tidak mematuhi perintahnya untuk berhenti. Hal ini terlalu cepat bagi anak itu, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan anggota keluarga satu-satunya dan menjadi sebatang kara.

Anak perempuan itu mengalihkan pandangannya pada seorang pria berkemeja hitam yang berdiri di depan makam itu. Pria tersebut menatap makam dengan nisan yang berukirkan nama Sara Paradhita tanpa ekspresi. Matanya sedikit berkaca-kaca walau ia tidak menangis. Fathir Suryatama. Pria berusia dua puluh enam tahun itu resmi menjadi duda diusianya yang masih muda setelah istrinya, Sara, yang baru dua tahun ia nikahi meninggal.

Orang-orang mulai meninggalkan makam. Suhu udara semakin dingin dan mereka tidak mau mengambil resiko masuk angin karena berdiri di depan makam itu tanpa payung dan jaket. Hanya tersisa anak perempuan bernama Raya dan Fathir sekarang. Raya tiada hentinya menatap Fathir sambil terus memeluk makam kakaknya. Anak perempuan itu mencoba menangkap ekspresi apa yang ditampilkan kakak iparnya tersebut walau terlalu susah baginya yang masih bocah untuk mengerti.

“Kak Fathir kenapa tidak bicara apa-apa?” tanya Raya dengan suara polosnya. “Apa kak Fathir tidak sedih dengan kematian kak Sara?” sambungnya lagi.

Fathir tetap diam. Pandangannya sekarang teralih pada Raya yang menatapnya dengan tatapan penasaran. “Raya, kutunggu di mobil,” katanya datar lalu pergi meninggalkan Raya yang hanya bisa menatap punggung kakak iparnya itu tanpa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Raya mengusap rambut kuncir duanya yang mulai melepek karena tetesan air hujan. Ia juga sudah bisa merasakan badannya menggigil karena kedinginan. Tetapi ia ingin tetap di sini, bersama makam Sara dan kenangan-kenangan yang telah mereka buat bersama.
“Hei, kenapa kau di sini? Wajahmu sudah terlihat pucat loh.”

Raya menoleh kearah asal suara itu. Matanya terbelalak ketika melihat sesosok anak yang kepalanya dipenuhi dengan lilitan perban putih telah berdiri di sampingnya. “Kau.. siapa?” tanyanya hampir tidak terdengar. Perasaan takut bercampur kagetnya membuat suaranya seperti tenggelam.

Anak itu tersenyum walau tidak terlihat karena perban yang menutupi wajahnya. “Ame.. Aku ame,” jawabnya sambil ikut berjongkok di depan makam Sara bersama Raya.

“Ame? Nama yang aneh. Kenapa seluruh kepalamu diperban?”

“Beberapa hari yang lalu kepalaku terbentur trotoar saat bermain bersama adikku. Sebenarnya hanya pendarahan kecil di kepala, tapi aku meminta diperban seluruh kepala karena kupikir akan keren seperti Mummy.”

Raya tertawa geli hingga wajahnya memerah. “Bodoh, Mummy itu menyeramkan bukan keren. Hahaha..”

“Tapi menurutku keren kok!” bela anak laki-laki yang seusia dengan Raya itu. Ia tidak terima tokoh favoritenya diejek oleh Raya mentah-mentah. “Apa makam ini makam ibumu?” Anak laki-laki bernama Ame itu menunjuk makam di hadapannya dengan telunjuk mungilnya yang juga terlilit perban.

“Bukan..” Raya menggeleng pelan. “Itu makam kakak perempuanku.” Raya melihat Ame menunduk sambil menyatukan tangannya di depan dada. Raya memperhatikannya dengan seksama. Mencoba mereka-reka apa yang sedang dilakukan teman kecil barunya itu. “Kau sedang apa?” tanyanya. Perlu waktu beberapa saat untuk Raya mendapatkan jawaban dari Ame
“Berdoa. Aku diajarkan ibuku untuk selalu berdoa untuk orang yang sudah meninggal,” jawab Ame setelah menyelesaikan doanya.

“Apa isi doamu?”

“Kata ibuku kalau aku bilang pada seseorang tentang isi doaku, maka doaku itu tidak akan terkabul.”

Raya mengangguk mengerti layaknya seorang anak kecil yang baru diajarkan pelajaran penjumlahan satu ditambah satu. “Ame, apa yang ada di saku celanamu itu?”

“Maksudmu ini?” Ame menarik keluar dua batang bunga yang nampak asing bagi Raya. Bunga itu berkelopak putih dan tipis dengan tangkai hijau segarnya yang menjulang panjang.
“Iya. Indah sekali..” sahut Raya terkagum-kagum.

“Kalau begitu ini untukmu.” Ame menyerahkan dua batang bunga itu ke tangan mungil Raya.
“Terima kasih. Apa nama bunga ini? Aku baru pertama kali melihatnya.”

“Nama bunga indah itu... Edelweiss.”

Love Xerxes Break

Oke, saia mulai posting hal ga jelas lagi.
Ini tentang anime/manga Pandora Hearts, entah kenapa saia suka banget ama chara Xerxes Break. Gw suka ama kejahilannya aja gitu. Lucu~

Ini dia Xerxes Break


Pengen ngeblog deh... *ga penting

Entah kena angin apa saia jadi pingin punya blog. Yaa.. tapi ga ada ruginya juga sih, mungkin saia bisa post novel gaje buatan saya di sini dari pada menuh-menuhin notes di Facebook. XD

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design