Jumat, 31 Mei 2013

Frei (Part 1)



     Uap itu mengepul setelah bergesekan dengan karbondioksida yang dihembuskan sang pria. Panas. Uap itu mengenai badanku tetapi sang pria tidak peduli. Ia hanya menghirup aroma robusta itu lalu dalam hitungan detik menyeruputnya dengan ganas. Ah, aku hanya bisa menatap sang pria dari samping, meratapi dan sedikit mengutuk wajahnya yang sangat tampan.
    

  “Jendral Gerald? Bagaimana menurut Anda?” sang pria mengeluarkan suaranya ketika sang jendral menutup proposal yang ada di tangannya, ia telah selesai membacanya, huh?
    

    Aku tidak mau berharap banyak pada jendral ini, tetapi sang pria tidak. Entah ia mendapat rasa percaya itu dari mana. Meskipun sudah berpuluh-puluh kali ditolak, sang pria tidak pernah lelah dengan jendral-jendral dan politikus oportunis busuk di negara ini.
  

    “Hm.. Seperti biasa kamu memang pemimpi yang luar biasa. Rencana naif ini tidak akan menguntungkan siapapun,” jawab sang jendral, akhirnya.
     

       Kan.. Kubilang juga apa..
    

      “Tapi jendral..”
    

      SRAK! SRAK!   
   
     Jendral itu merobek proposal yang selama sebulan ini mengunci waktu luang sang pria. Oh, bukannya manusia seharusnya diajarkan untuk menghargai hasil jerih payah orang lain ya?
   

    “Kamu seharusnya tahu diri dan bersyukur aku mau meluangkan waktu untuk membaca proposal bodoh ini.”
    

   Meskipun kamu hanya membacanya sekitar 5 menit? Untuk sebuah proposal dengan total 58 halaman? What a bullshit! Oh, seandainya kalimat itu bisa keluar dari mulutku.
     

    “Jangan pernah muncul di depan markas lagi, aku sudah muak denganmu. Dasar orang gila!” Sang jendral pergi setelah berdecih dan memberikan tatapan jijik pada sang pria.
    

   Sang pria hanya bisa tertunduk sambil memungut robekan proposalnya. Sekarang sang pria mau kemana? Apa yang akan ia lakukan? Dengarkan aku.. Dengarkan aku.. Aku yang paling mengerti sang pria, aku yang selalu ada di sampingnya. Dengarkan aku, Ludwig.. Dunia tidak sebaik yang kamu pikirkan.


***
     Sekarang bukanlah waktu yang aman untuk keluar rumah. Hujan bom atom milik sekutu bisa saja sewaktu-waktu membunuhmu. Bukan hanya kamu, sang pria pemimpi, tetapi juga orang-orang di sekitarmu.
     

    Hubungan antara Jerman dan sekutu tidak menunjukkan keadaan yang bagus. Jerman, negara ini, telah kehilangan hampir empat puluh persen daerah kekuasannya. Kekeringan dan kelaparan menggerogoti kehidupan masyarakat dan sang pria telah berulang kali menawarkan solusi pada mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi nihil, kan? Bukannya menerima mereka malah melecehkanmu.

    Orang-orang di negara yang sangat kamu cintai melecehkanmu. Bahkan bisa dibilang negara ini mengkhianatimu, ia telah mengambil segala hal yang kamu sayangi. Tetapi aku tidak, hanya aku yang tidak mereka ambil darimu. Karena itu.. Karena itu aku yang akan mempertahankanmu. Meskipun negara ini hancur dan orang-orangnya mati meninggalkanmu, aku akan tetap mempertahankanmu.

     “Mungkin rencanaku kali ini terlalu berlebihan..” ucap sang pria membelah kesunyian di mansion buruk rupa ini.


     Tidak.. Tidak ada yang berlebihan dari semua rencana yang pernah kamu ajukan. Memindahkan ibukota negara bukanlah ide yang mustahil. Bahkan aku yang tidak hidup pun tahu bahwa cara itu bisa mengurangi korban sipil.


     “Aku benci perang.. Kenapa manusia tidak bisa hidup tanpa bergesekan. Sebenarnya apa penyebab perang ini?”


      Keegoisan manusia. Semua ini dimulai karena keegoisan dan keserahakan manusia.


     Sang pria meraih sebuah buku dari dalam tumpukan kardus. Ada lebih dari 20 buku di dalam kardus itu, peninggalan dari kakek sang pria. Buku-buku itu sangat tebal dan menggunakan bahasa berat yang tidak aku mengerti. Bahkan ada sekitar 8 buku menggunakan bahasa latin.


   “Buku ini..” sang pria membuka buku yang ia ambil. “Tale of Britannia?” nada bingung menggantung di udara.


     Britannia, huh? Aku melirik isi buku.. ah, mungkin lebih tepatnya jurnal. Aku mengenal tulisan tangan rapi yang terpatri dalam jurnal itu. Tulisan Edward, kakek sang pria. Aku pernah dengar jika Edward pernah pergi ke Britannia tapi aku tidak tahu jika lelaki petualang itu akan menulisnya dalam sebuah jurnal.


     BOOOOM!! BOOOOM!!   


   Sang pria menghempaskan jurnal itu dan dengan insting langsung berlari keluar mansion. Apa yang sang pria lihat di mata keabuannya adalah Zurich yang terbakar dan hancur. Kota tempat ibunya dilahirkan itu luluh lantak akibat bom yang dijatuhkan lima buah pesawat MiG-17 belambang VVS.

      “Voenno Vozdusnie Sily? Uni Soviet? Kenapa?!” ucap sang pria tidak percaya.

      “Itulah manusia, sangat egois.”


     Suara itu membuat sang pria berpaling dari pemandangan menyedihkan itu. Apa yang sang pria lihat sulit untuk dicerna. Sang pria ternganga, bagaimana tidak, pemandangan seorang wanita dengan gaun bergaya klasik berwarna bukit yang melayang perlahan menyentuh bumi tersaji di hadapannya.


     Wanita berambut emas itu menatapku sambil tersenyum, ah, dia tahu aku? Berarti dia bukan manusia biasa. Oh, bahkan mungkin dia bukan manusia. Setidaknya, bukan lagi.


     “Kau punya benda yang menarik ya.” Wanita itu menyentuhku namun tangannya langsung dihempaskan oleh sang pria.


     “Heeh.. Kau beruntung ya, sepertinya dia sangat menjagamu.”


     Bukan. Aku yang selalu menjaga pria itu, bukan kebalikannya.


    “Keras kepala ya.. Oh, sepertinya serangan dari Uni Soviet telah berhenti.” Wanita itu menjentikkan jarinya dan tak lama kemudian langit yang sebelumnya tenggelam dalam asap hitam terbelah menjadi dua disertai dengan petir dan guntur.


   “Dengan begini apinya tidak akan menjalar sampai ke mansionmu,” ucap wanita itu ketika hujan mulai turun.


       Siapa wanita ini?
      “Kamu.. Siapa kamu?”


    Wanita itu memetik bunga mawar yang ada di halaman mansion sang pria. Setangkai mawar layu yang berjuang mati-matian untuk tetap bertahan hidup. Wanita itu menatap sang mawar dengan tatapan penuh kasih sayang lalu meniupnya lembut.


    “Mawarnya!”


   Sang pria hanya bisa menahan napas melihat keajaiban yang terjadi. Mawar itu mekar kembali, mawar yang tadinya layu itu..


   “Kau tahu, aku datang dari labirin dimensi.. Dan saat aku terjun dari jurang itu, aku tidak pernah menyangkan akan kembali ke dimensi ini lagi setelah sekian lama.”


     Labirin dimensi? Gaun berwarna bukit itu dan warna rambut itu.. Jangan bilang kalau dia!


    “Namaku Lucy de Lancelot du Lac, sang penyihir dimensi.”


    “Penyihir?”


    Wanita bernama Lucy itu tersenyum. Ia berjalan mendekati sang pria kemudian berbisik di telinga kanan sang pria. Bisikan yang membuat sang pria terdiam, bisikan yang membuat kamu mengepalkan tanganmu.


“Can I grant your wish?”
To be continued..
***
NB: Terima kasih atas dukungan pada choice-novel ini.. Hasil poling kemarin menyatakan kalo Lucy terjun ke dalam jurang.. Pada jahat yah.. Huhuhuh. Nah, sekarang please vote again!! Hasil vote akan berpengaruh pada bagaimana cerita ini akan berakhir :3
Anggi Widyastuti aka Beenbin
@anggiwdyst

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design