Jumat, 28 Mei 2010

Tangkai Ketiga


Aku telah bersumpah pada diriku sendiri,
bahwa aku akan menepati janjiku padanya..
Nishizawa Reza A
***
            Matahari sedang mengintip di balik awan ketika seorang pemuda dengan seragam sekolah lengkapnya dan tas selempang berwarna merah melintas di taman Gilbert Choze. Pemuda itu celingukan memandangi sekitarnya dengan wajah bingung. Beberapa saat kemudian pemuda itu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal lalu duduk di salah satu bangku taman yang di cat senada dengan jejeran rumput rapi di sekitarnya.
            Beberapa siswa dan siswi yang lewat menatap pemuda itu aneh. Mereka menatap pemuda itu bagai orang asing, namun aja juga yang menatapnya dengan mata yang berbinar-binar hingga membuatnya menjadi tidak nyaman berada di taman itu. Apa ada yang aneh denganku? pikirnya bingung. Sejak pertama ia memasuki gerbang sekolah elite ini hampir semua mata tertuju padanya. Ia mungkin tidak sadar dengan style-nya yang berbeda dengan yang lain. Seorang pemuda dengan rambut mohawk agak kecokelatan yang asli tanpa disemir dengan mata hitam jernih yang agak sipit dan kulit putih sedikit pucat memang baru pertama kali ini ada di Gilbert Choze dan pastinya hal itu akan mengundang ketertarikan siswa lain untuk memandangnya.
            Pemuda itu menghela napas ketika tenggorokannya sudah terasa kering. Berkeliling Gilbert Choze ditambah dengan cuaca panas Jogja telah membuatnya dehidrasi. Kepalanya mulai pusing, ia tahu kalau Gilbert Choze adalah sekolah elite nan luas tapi ia tidak menyangka untuk mencari kantor kepala sekolah saja bisa sesulit ini. Wajah pemuda itu berubah cerah ketika seorang gadis dengan rambut hitam lurus sebahu duduk di sampingnya untuk mengikat salah satu tali sepatunya yang lepas, mungkin ia bisa bertanya pada gadis itu.
            "Hai.." sapanya pada gadis itu. Gadis itu melirik sebentar ke arah pemuda itu lalu kembali ke aktivitas awalnya, mengikat tali sepatu. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan alisnya ketika sapaannya ditanggapi dingin oleh gadis itu.
            "Ruang kepala sekola ada di mana ya?"
            Gadis itu akhirnya menjawab, "Lantai 3, di sebelah ruang tata usaha."
            Pemuda itu segera bangkit dari bangku taman yang masih di duduki gadis itu. "Terima kasih," pemuda itu melirik jahitan nama yang terbordir di seragam gadis itu lalu tersenyum, "Raya.."
***
            Suasana kelas yang tadinya gaduh berubah sunyi ketika Pak Hendry masuk. Suara dehaman kepala sekolah Gilbert Choze itu mampu membuat bisu 35 siswa kelas IX IPS B yang tadinya asyik dengan obrolan masing-masing.
            Suara bisik-bisik mulai muncul kembali ketika Rendy dengan seorang pemuda bertas selempang merah masuk ke dalam kelas. Seketika itu juga berbagai tatapan terarah pada pemuda asing itu. Raya melirik siswa baru itu sejenak dan langsung mengenali bahwa orang itu adalah orang yang tadi pagi menanyakan ruang kepala sekolah padanya. Pemuda itu tersenyum pada Raya namun hanya dibalas gadis itu dengan tatapan dingin.
            "Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru. Dia pindahan dari Jepang, silahkan." Pak Hendry memberi aba-aba pada siswa baru itu untuk memperkenalkan diri sedangkan Rendy memberi aba-aba agar teman-temannya diam sebentar.
            "Perkenalkan, namaku Nishizawa Reza. Biasanya jika di Jepang orang memanggilku Nishizawa-kun atau Nishizawa-san, tapi karena ini Indonesia kalian cukup memanggilku Reza. Kuharap kita bisa jadi teman akrab." Reza tersenyum menatap teman-teman di sekolah barunya itu. Logat bahasa Indonesianya memang agak aneh, dan kurang pasif bahkan ada beberapa kata yang sangat sulit ia ucapkan.
            "Orang Jepang kok bisa bahasa Indonesia?" celetuk Satria.
            "Waktu kecil aku sempat tinggal di Indonesia selama 2 tahun dan juga karena ibuku asli orang Indonesia, orang Jogja."
            Satria mengangguk paham, begitu juga dengan siswa lainnya.
            Tak lama kemudian Pak Marwan, wali kelas IX IPS B, ikut bergabung bersama Pak Hendry melihat acara perkenalan diri siswa baru bernama Reza itu. Melihat Pak Marwan telah datang, Rendy langsung menghampiri beliau dan menanyakan tentang tempat duduk untuk Reza, begitulah kewajibannya sebagai ketua kelas.
            Pak Marwan menghampiri Reza yang masih berdiri di depan papan tulis. Guru yang tingginya tidak lebih dari bahu Reza itu lalu menunjuk ke arah meja di samping Raya.
            "Kamu bisa duduk di sana, di sebelah Raya."
            Raya tercengang ketika namanya disebut. Gadis itu lalu melirik meja di sampingnya. Ia tidak pernah menyangkan bahwa meja yang selalu kosong itu akan terisi sekarang, meja yang menjadi saksi bisu atas kesepiannya selama ini.
            Reza mengucapkan terima kasih pada Pak Marwan lalu melangkah menuju ke meja yang di tunjuk Pak Marwan tadi. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan siswa lain yang tajam pada Raya namun hebatnya gadis itu tidak memperdulikannya sama sekali. Bahkan ia melihat gadis itu menekan tombol pause pada iPod nano-nya.
***
            Meja yang akan menjadi milik Reza penuh dengan debu dan dari sana ia bisa menebak bahwa meja ini sudah lama tidak terpakai. Ia merobek bagian tengah salah satu buku tulisnya yang masih kosong lalu melap debu-debu dari meja itu dengan kertas tersebut walau kadang sedikit terbatuk.
            Pak Marwan dan Pak Hendry akhirnya meninggalkan kelas, dan hal itu sudah pasti membuat kelas menjadi gaduh kembali hingga membuat Rendy kembali kewalahan menegur siswa-siswa yang susah diatur ini. Reza hanya bisa iba melihat Rendy yang diacuhkan oleh siswa lain.
            Di tengah kegaduhan itu Reza menghampiri Raya yang kembali asik dengan iPod dan pikirannya sendiri. Reza menatap wajah Raya sesaat lalu menarik kursinya mendekati Raya.
            "Ngapain?" tanya Raya datar walaupun sebenarnya ia kaget karena ketika ia berpaling dari jendela sudah ada Reza duduk di depan samping kanan mejanya.
            "Mau ngajak kenalan."
            Raya bengong. "Emangnya perlu?"
            "Yaiyalah, perlu banget malah." Reza mengulurkan tangannya pada Raya, mengajak gadis itu untuk berjabat tangan.
            Dengan sedikit agak ragu Raya menyambut jabatan tangan Reza. Ketika tangannya menyentuh tangan Reza ia merasakan suatu kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, suatu kehangatan yang telah hilang dan mati bersama kakaknya, Sara.
            Aku Ame..
            "Aku Nishizawa Reza, panggil aja Reza."
            Raya tertegun, mata hitam jernihnya membulat lalu dengan refleks ia langsung memandang wajah Reza dan menggenggam tangan Reza dengan erat. Reza dengan wajah bingungnya hanya diam dengan kelakuan aneh Raya. Raya merasa sangat nostalgia sekarang, entah kenapa. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa mengingat perkenalannya dulu dengan Ame karena orang ini.
            "Ame.." gumam Raya pelan namun masih bisa terdengar oleh Reza.
            "Ame? Siapa itu? Kamu sakit?" tanya Reza yang lebih tinggi berpuluh-puluh centimeter dari Raya itu.
            Raya segera menggeleng setelah sadar apa yang ia katakan. "Tidak, bukan siapa-siapa kok," jawabnya. Reza hanya ber-oh ria tanpa melepaskan jabatan tangannya dari Raya. "Lalu, nama kamu siapa?" tanya Reza padahal ia sudah tahu dari bordiran nama di seragam Raya.
            "Namaku Raya Paradhita."
            "Mari berteman baik, Raya!" seru Reza sambil terus menjabat tangan Raya yang hanya bisa tersenyum tipis.
***
            Pagar rumah keluarga Sastroyo terbuka lebar ketika Reza sampai di rumah Omnya itu. Ia melihat sebuah mobil kijang kotak tahun 2000an terparkir pada halaman rumah bertingkat dua itu dan itu berarti sedang ada tamu yang datang. Dengan perlahan Reza memasuki rumah itu dan sebuah senyuman hangat yang khas siap menyambutnya dari balik pintu jati tersebut.
“Selamat datang,” ucap seorang pria dengan kisaran umur antara 35-40 tahun berpakaian jas  dan dasi rapi ala pengusaha elite .
Reza hanya membalas sapaan pria itu dengan senyuman. Ia tidak banyak bicara dengan pria itu, Deny Sastroyo, atau Omnya karena sedikit merasa sungkan dan malu. Ia malu karena tinggal di rumah  Deny secara gratis, disekolahkan, bahkan diperlakukan seperti anak sendiri.
Deny memang belum menikah, pria itu terlalu sibuk dengan urusan bisnis batubaranya hingga tidak mempunyai waktu untuk memikirkan masalah pendamping hidup. Deny adalah adik dari ibu Reza, Dinda Sastroyo, yang telah meninggal setahun yang lalu karena sebuah kecelakaan.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah?” tanya Deny, ia merangkul hangat keponakannya itu lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tamu.
“Menyenangkan, walau agak risih dipandangin terus sama beberapa siswa lain,” jelas Reza. Ia melihat ada seorang pria juga duduk di sofa yang terpisah dengannya dan Omnya. Pria itu memakai jas putih yang segera disadari Reza bahwa dia adalah seorang dokter dengan rambut cepak belah kiri yang sangat rapi dan sebuah kacamata yang membingkai wajahnya. Reza menduga bahwa pria itulah pemilik mobil kijang yang terparkir di halaman tadi.
“Mungkin karena wajah oriental dan warna rambutmu itu.” Deny mengusap kepala Reza dengan lembut, sama seperti yang dilakukannya saat Reza masih kecil dan hal itu membuatnya teringat akan ibunya yang juga selalu mengusap rambutnya setiap ia pulang sekolah.
“Om, ada tamu ya?” tanya Reza setelah melihat seulas senyum yang tidak kalah hangatnya dari dokter berkacamata yang daritadi hanya diam melihat keakrabannya dengan Deny.
Deny segera menepuk dahinya setelah menyadari bahwa ia melupakan seseorang yang sejak tadi hanya memperhatikan Reza dengannya. “Ah ya, ini Dokter Ferdi. Dia adalah dokter pribadiku.” Reza segera menyalami Dokter Ferdi dengan sopan walaupun ia terbiasa dengan budaya Jepang yang saling membungkuk ketika berkenalan tapi ia tetap mencoba untuk mengikuti kebiasaan tempat tinggalnya sekarang.
“Mirip sekali dengan Dinda,” komentar dokter berusia 45 tahun itu. Reza menanggapinya dengan senyum  tipis setelah sedikit terkejut karena Dokter Ferdi ternyata mengenali ibunya. “Anda kenal dengan ibu saya?” tanya Reza agak canggung dengan bahasa indonesia yang formal.
Dokter Ferdi mengangguk pelan. “Kami dulu satu SMA, aku berteman baik dengannya,” jelasnya. Entah kenapa suasana berubah menjadi agak dingin sekarang, bahkan ekspresi wajah Deny berubah sendu.
Mengetahui suasana yang berubah menjadi tidak enak Reza segera mengalihkan pembicaraan. “Om sedang sakit? Kenapa sampai memanggil Dokter Ferdi segala?” tanyanya.
“Tidak, aku memanggil Ferdi karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya.”
“Oh, kalau begitu aku ke kamar dulu. Aku ingin beristirahat sebentar karena nanti sore aku mau jalan-jalan di sekitar sini,” kata Reza lalu pamit meninggalkan Deny dan Dokter Ferdi. Sebelum meninggalkan ruang tamu mewah itu Reza sempat melirik sebuah dokumen yang berada di atas meja kaca persegi di depan Dokter Ferdi. Ia tahu dokumen tebal itu, dan bisa dibilang ia sangat membencinya. Ia benci karena dokumen itu adalah dokumen kesehatannya, sebuah dokumen yang membuktikan bahwa dirinya tidaklah normal. Sekarang ia tahu mengapa Omnya memanggil Dokter Ferdi ke rumah.
***
Keadaan rumah telah sunyi ketika Reza keluar dari kamarnya. Hanya tampak beberapa pembantu rumah tangga yang terlihat sibuk mengangkat gelas-gelas sisa minuman dari ruang tamu ke dapur. Reza sedikit mengucek matanya. Ia sempat tertidur tadi padahal awalnya ia berencana ingin membaca sebuah novel yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah.
“Bi, Om kemana?” tanya Reza pada Bi Yuni, salah seorang pembantu di rumahnya.
“Tadi pergi sama Dokter Ferdi, mas. Ngga tau kemana,” jawab perempuan paruh baya dengan gurat kerutan di wajahnya yang tampak lebih tua dari umurnya sebenarnya. Reza mengangguk lalu menyuruh Bi Yuni kembali ke pekerjaannya.
Reza kembali masuk ke kamarnya lalu mengambil sepasang sepatu kats putih dari dalam lemari sepatunya. Seperti rencana awalnya, ia ingin berkeliling sekitar komplek rumahnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitar sini dengan sepeda yang kemarin diberikan Deny, sebuah sepeda gunung berwarna kuning yang tadi pagi juga ia kendarai ke Gilbert Choze.
***
Rambut kecoklatan Reza tertiup angin sepoi ketika ia mengayuh sepedanya semakin kencang. Matanya yang sudah sipit juga bertambah sipit karena ia menyipitkan matanya agar tidak terkena debu jalanan. Ia telah bersepeda mengelilingi komplek Bima Jaya selama satu jam dan pemandangan yang ditemukannya hanyalah pemandangan klise sebuah perumahan elite.
Reza ingin melihat perkampungan Jogja biasa. Ia ingin melihat potret-potret wajah orang Indonesia biasa yang selalu dibanggakan ibunya. Untuk itu akhirnya Reza memutuskan untuk bersepeda keluar komplek. Menurut Bi Yuni ada sebuah perumahan kecil di dekat Bima Jaya dan di sana terdapat banyak sawah yang masih hijau.
Reza sangat menyukai sawah dan gunung. Ia pernah beberapa kali mendaki gunung Merapi bersama ibu, adiknya dan Deny saat ia berumur 12 tahun dan tinggal di Jogja. Ia juga suka sawah, ia senang melihat segerombolan orang berpakaian sederhana dan bertopi kecapi memasuki sawah, menaburi padi-padi dengan pupuk kompos, membajak sawah dengan kerbau, ia menyukai semua ketradisionalan itu.
Kayuhan sepedanya berhenti ketika berada di depan sebuah gang kecil. Mata hitam pekatnya menangkap seseorang yang ia kenal sedang berdiri di depan sebuah toko kelontong dengan membawa sebuah keranjang belanja plastik berwarna biru.
Bibir Reza tersenyum simpul. Pemuda itu lalu mendekati gadis dengan dress putih polkadot hitam sederhana yang masih asyik memilih makanan ringan di toko kelontong kecil itu.
“Raya..” sapanya pada gadis yang ternyata Raya itu.
Raya berbalik memandang Reza dengan heran. Matanya melirik Reza dengan sepeda gunung kuningnya sejenak lalu bergegas pergi dari toko kelontong itu setelah menerima uang kembalian dari sang penjual. Ya, Raya tidak menghiraukan Reza.
Tidak kehilangan akal Reza mengikuti Raya dari belakang dengan pelan. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu mengacuhkannya tapi itu bukan berarti bisa menghalanginya untuk berteman dengan gadis itu. “Hei, setelah ini kamu mau kemana?” tanya Reza.
“Bukan urusanmu,” jawab Raya dingin. Sesekali ia menggonta-ganti tangannya yang membawa keranjang belanja yang terisi penuh itu, mungkin karena pegal membawa keranjang seberat itu.
“Sini biar kubawakan.” Reza mengambil keranjang belanja Raya lalu menggantungnya di stang sepeda gunungnya. Walau agak keberatan Raya tidak bicara apa-apa karena memang tangannya sudah pegal membawa keranjang belanja itu.
Raya melirik Reza yang sekarang hanya menuntun sepedanya dan berjalan berdampingan bersamanya. Ia memperhatikan wajah Reza dengan seksama, lumayan tampan, pikirnya.
“Rumahmu di mana?” tanya Reza memecah pikiran Raya.
“Di sana.” Raya menunjuk ke arah sebuah pintu gerbang perumahan kecil dengan tulisan “Perumahan Asri Bintara”.
Reza mengangguk paham. “Kuantarkan sampai rumah ya,” katanya dengan senyum ramah yang membuat Raya merasa hanyut terbawa senyuman pemuda itu.
“Terserah,” jawab Raya datar.
Diam-diam terbesit perasaan senang dalam hati Raya. Ini pertama kalinya ada orang seumurannya yang mau berbicara dengannya, yang baik terhadapnya, dan yang mau tersenyum tulus padanya.
“Ada apa?” tanya Reza yang menyadari bahwa Raya sedang bengong dan hanyut dalam pikirannya sendiri. Raya hanya menjawabnya dengan satu gelengan kepala lalu berjalan mendahului Reza yang menuntun sepedanya.
Reza tersenyum melihat tingkah malu-malu Raya. Ia menatap tubuh Raya yang mungil namun indah itu dari belakang. Ia ingin melihat Raya tersenyum walaupun hanya sekali, ia ingin melihat Raya tersenyum seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu.

9 komentar:

  1. hei hei hei !
    Raya nya kocak ! hahaha
    suka banget ngegaringin Reza,
    tapi Reza nya ga nyerah begtu aja !
    eeh bentar, apa Reza ga normal?
    dia kenapa kenapa?
    UPDATE ! hahaha

    BalasHapus
  2. wow,,keren,,
    sungguh menyentuh hati,, ^^b
    lanjutkan...

    BalasHapus
  3. eh ? eh ?
    ada apa dengan Reza ?
    kok gag normal ? O.o
    wah . wah .
    jangan" nanti Raya sama Reza sama" punya perasaan nih XDD
    *PLAAK*

    BalasHapus
  4. Waaah...
    Keren nehh!
    Reza itu siapa sih? Kok rada aneh..
    Lanjutkan!

    BalasHapus
  5. binbin~ maaf baru comment Dx hihi kayak ichigo ama rukia ya XDD bagus banget XDD bentar namanya Reza kok diatas ada A nya jangan-jangan A nya itu Ame ya? O.O

    BalasHapus
  6. wuahhhh,,,,jangan2 se reza itu adalah (.......)
    *disensor..hehehehe
    wah di tunggu update nya yach,,,^^

    BalasHapus
  7. Wooooww . .
    pokoknye Langsung w bookmark ! XD

    ^^grimmy^^

    BalasHapus
  8. Hola pakde! Budhe datang setelah UKK gila *plak* selesai!! Jerman ma Akuntansi sulit! *gak nanya*

    Ah, itu 11 IPS kan? XI don pakde, IX kan 9. SMP belom ada penjurusan. Hahae

    Mohawk? Dah dapet gambaran! Soalnya si... *gak penting* apdet aja ye!

    BalasHapus
  9. hualoo baru sekarang komen~

    hee..persis Ichigo dan Rukia ya. Terutama pas kata-kata 'tinggi Reza berpuluh-puluh cm lebih tinggi dari Raya' haahaha, ketauan Raya cebol *digampar*

    BalasHapus

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design