Senin, 17 Mei 2010

Prolouge

Rintik hujan sedikit membasahi bumi ketika orang-orang berpakaian serba hitam berdiri di hadapan sebuah gundukan tanah merah bernisan yang lebih dikenal dengan makam. Beberapa orang menangis sambil menatap makam yang mulai basah oleh tetesan rintik hujan. Ya, baru ada seseorang yang dikuburkan di sana. Tertidur tenang setelah lelah menghadapi dunia yang semakin lama semakin sulit ini.

Seorang anak perempuan berkuncir dua yang berusia dua belas tahun memeluk nisan marmer putih pada makam itu sambil terisak. Mata hitam pekat anak itu memerah dan bengkak karena terlalu lama menangis. Orang-orang yang berdiri di sekitar anak itu hanya bisa merasa kasihan padanya. Anak perempuan itu mencoba mengusap airmatanya yang tidak bisa berhenti mengalir dengan telapak tangan mungilnya. Namun percuma, karena airmatanya tidak mematuhi perintahnya untuk berhenti. Hal ini terlalu cepat bagi anak itu, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan anggota keluarga satu-satunya dan menjadi sebatang kara.

Anak perempuan itu mengalihkan pandangannya pada seorang pria berkemeja hitam yang berdiri di depan makam itu. Pria tersebut menatap makam dengan nisan yang berukirkan nama Sara Paradhita tanpa ekspresi. Matanya sedikit berkaca-kaca walau ia tidak menangis. Fathir Suryatama. Pria berusia dua puluh enam tahun itu resmi menjadi duda diusianya yang masih muda setelah istrinya, Sara, yang baru dua tahun ia nikahi meninggal.

Orang-orang mulai meninggalkan makam. Suhu udara semakin dingin dan mereka tidak mau mengambil resiko masuk angin karena berdiri di depan makam itu tanpa payung dan jaket. Hanya tersisa anak perempuan bernama Raya dan Fathir sekarang. Raya tiada hentinya menatap Fathir sambil terus memeluk makam kakaknya. Anak perempuan itu mencoba menangkap ekspresi apa yang ditampilkan kakak iparnya tersebut walau terlalu susah baginya yang masih bocah untuk mengerti.

“Kak Fathir kenapa tidak bicara apa-apa?” tanya Raya dengan suara polosnya. “Apa kak Fathir tidak sedih dengan kematian kak Sara?” sambungnya lagi.

Fathir tetap diam. Pandangannya sekarang teralih pada Raya yang menatapnya dengan tatapan penasaran. “Raya, kutunggu di mobil,” katanya datar lalu pergi meninggalkan Raya yang hanya bisa menatap punggung kakak iparnya itu tanpa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Raya mengusap rambut kuncir duanya yang mulai melepek karena tetesan air hujan. Ia juga sudah bisa merasakan badannya menggigil karena kedinginan. Tetapi ia ingin tetap di sini, bersama makam Sara dan kenangan-kenangan yang telah mereka buat bersama.
“Hei, kenapa kau di sini? Wajahmu sudah terlihat pucat loh.”

Raya menoleh kearah asal suara itu. Matanya terbelalak ketika melihat sesosok anak yang kepalanya dipenuhi dengan lilitan perban putih telah berdiri di sampingnya. “Kau.. siapa?” tanyanya hampir tidak terdengar. Perasaan takut bercampur kagetnya membuat suaranya seperti tenggelam.

Anak itu tersenyum walau tidak terlihat karena perban yang menutupi wajahnya. “Ame.. Aku ame,” jawabnya sambil ikut berjongkok di depan makam Sara bersama Raya.

“Ame? Nama yang aneh. Kenapa seluruh kepalamu diperban?”

“Beberapa hari yang lalu kepalaku terbentur trotoar saat bermain bersama adikku. Sebenarnya hanya pendarahan kecil di kepala, tapi aku meminta diperban seluruh kepala karena kupikir akan keren seperti Mummy.”

Raya tertawa geli hingga wajahnya memerah. “Bodoh, Mummy itu menyeramkan bukan keren. Hahaha..”

“Tapi menurutku keren kok!” bela anak laki-laki yang seusia dengan Raya itu. Ia tidak terima tokoh favoritenya diejek oleh Raya mentah-mentah. “Apa makam ini makam ibumu?” Anak laki-laki bernama Ame itu menunjuk makam di hadapannya dengan telunjuk mungilnya yang juga terlilit perban.

“Bukan..” Raya menggeleng pelan. “Itu makam kakak perempuanku.” Raya melihat Ame menunduk sambil menyatukan tangannya di depan dada. Raya memperhatikannya dengan seksama. Mencoba mereka-reka apa yang sedang dilakukan teman kecil barunya itu. “Kau sedang apa?” tanyanya. Perlu waktu beberapa saat untuk Raya mendapatkan jawaban dari Ame
“Berdoa. Aku diajarkan ibuku untuk selalu berdoa untuk orang yang sudah meninggal,” jawab Ame setelah menyelesaikan doanya.

“Apa isi doamu?”

“Kata ibuku kalau aku bilang pada seseorang tentang isi doaku, maka doaku itu tidak akan terkabul.”

Raya mengangguk mengerti layaknya seorang anak kecil yang baru diajarkan pelajaran penjumlahan satu ditambah satu. “Ame, apa yang ada di saku celanamu itu?”

“Maksudmu ini?” Ame menarik keluar dua batang bunga yang nampak asing bagi Raya. Bunga itu berkelopak putih dan tipis dengan tangkai hijau segarnya yang menjulang panjang.
“Iya. Indah sekali..” sahut Raya terkagum-kagum.

“Kalau begitu ini untukmu.” Ame menyerahkan dua batang bunga itu ke tangan mungil Raya.
“Terima kasih. Apa nama bunga ini? Aku baru pertama kali melihatnya.”

“Nama bunga indah itu... Edelweiss.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design