Senin, 17 Mei 2010

Tangkai Kedua

Aku hanya ingin ada seseorang yang bisa mengerti aku
Hanya itu.. Tidak lebih...

                                                                                                                       Rendy Harditya
***
            Rendy Harditya. Pria berparas tangguh dengan darah bercampur Jawa-Palembang itu melepaskan kacamata Converse ber-frame hitam-putih yang telah ia pakai selama empat jam untuk membaca buku diktat Biologi yang tebalnya sekitar 600 halaman. Putra pertama dari keluarga Harditya itu sedikit memijit pelipis matanya yang terasa sangat lelah setelah membaca buku pengetahuan berbobot yang ia pinjam dari perpustakaan tadi siang. Ia lalu memandang ke meja belajarnya, sangat penuh dengan berkas-berkas tugas kesiswaan yang baru ia selesaikan setengahnya.
            Ia sangat lelah. Semua orang melimpahkan semua tugas padanya. Semua orang selalu saja menganggapnya sempurna karena memiliki otak yang encer, wajah yang tampan dan dari keluarga yang berada. Tapi sebenarnya dalam hatinya ia mengeluh. Ia mengeluh dengan tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS dan ketua kelas. Ia juga hanya manusia biasa, tidak semua hal bisa dia lakukan sendiri. Tapi sepertinya tidak ada orang yang menyadari hal itu. Semua orang di sekitarnya hanya terpaku pada nilai-nilai tinggi yang menghiasi rapornya dan pada perusahaan meubel ayahnya yang sangat sukses.
            Pria berambut hitam dengan potongan sedikit mohawk itu menghela napas lalu melangkah malas menuju ke meja belajarnya. Ia membereskan berkas-berkas yang berantakan dan berencana untuk bangun lebih pagi untuk menyelesaikan semuanya karena sekarang sudah mendekati tengah malam.
            "Sial!" gerutunya ketika selembar kertas dari tumpukan berkas yang ia bawa dengan sangat hati-hati menuju ke lemari buku terjatuh. Terpaksa ia menunduk dengan sekuat tenaga untuk mengambil selembar berkas itu agar tumpukan setinggi puluhan centimeter yang ia bawa tidak ikut jatuh.
            Akhirnya dengan penuh kesabaran ia meraih selembar kertas itu. Ia sempat melihat ada foto seorang pria dengan rambut agak kecoklatan pada kertas yang ia ambil tadi, dan karena penasaran akhirnya ia pun menyempatkan diri untuk membaca sekilas apa isi dari kertas itu. Alis hitam Rendy berkerut setelah selesai membaca kertas yang ternayata adalah boidata murid baru di Gilbert Choze itu.
            "Hmm.. Dari Jepang ya.."
***
          Tepat pada jam 7 pagi Rendy keluar dari kamarnya dengan pakaian seragam Gilbert Choze yang sedikit kusut di beberapa bagian dan sebuah tas Polo hitam yang tersampir di punggungnya. Di tangannya penuh dengan tumpukan berkas kesiswaan yang baru saja selesai ia kerjakan sejak jam 5 pagi tadi. Pria itu menguap, masih merasa mengantuk karena tadi malam hanya bisa tidur selama 4 jam dan berkat itu matanya menjadi memerah.
            Dengan gontai Rendy melangkah menuju ke ruang makan. Masih kosong. Mungkin Mamanya masih tidur dan Papanya pasti sudah pergi ke kantor lalu beberapa pembantunya mungkin sedang menyapu halaman rumah yang begitu luas. Beginlah keluarganya, keluarga yang sudah berada di ujung tanduk, keluarga yang bahkan sudah tidak bisa disebut keluarga lagi karena dirinya, Papa dan Mamanya sudah sangat jarang bertegur sapa.
            Rendy meletakkan berkas-berkas kesiswaan dari tangannya ke atas meja makan lalu duduk pada kursi jati di depannya. Ia mengambil sepotong roti yang tersaji di meja makan besar itu lalu mengoleskan selai cokelat kesukaannya. Seorang anak laki-laki berumur 13 tahun duduk di kursi samping Rendy saat ia baru menggigit secuil dari roti selai cokelatnya.
            "Ka, tolong ambilkan selai nanas itu," pinta Beny, adik Rendy satu-satunya. Rendy segera mengambil selai nanas yang berada tidak jauh dari hadapannya dan menyerahkannya pada Beny dan setelah itu sebuah kata terima kasih terucap dari bibir Beny.
            Rendy melirik seragam sekolah dengan lambang SMPN 5 adiknya dengan geli. Beny selalu saja memakai seragam dengan sembrono dan rambut hitam yang diatur dengan gel seadanya seakan sudah tidak memiliki niat untuk pergi ke sekolah lagi. Tapi pada kenyataannya memang benar. Beny sempat mogok sekolah tiga minggu karena pertengkaran yang terjadi di antara orang tua mereka. Anak seumuran Beny memang sangat terpengaruh mentalnya dengan keadaan keluarga dan untung saja Rendy segera mengantisipasinya dengan sebuah kata yang sebenarnya tidak baik untuk dikatakan pada anak berumur 13 tahun, yaitu "Anggap saja kita tidak punya orang tua". Dan bagaikan mantra sejak saat itu Beny sudah tidak pernah mogok sekolah lagi. Anak itu bahkan menjadi sangat patuh pada Rendy, kakaknya satu-satunya.
            "Tumben bangun pagi," sindir Rendy setelah menghabiskan satu potong roti selai cokelatnya. Beny mendengus kesal. Bibirnya yang belepotan dengan selai nanas pun membalas, "Hari ini ada senam pagi. Merepotkan!" keluh Beny lalu melap bibirnya dengan serbet biru di samping piringnya.
            "Benci senam seperti biasanya?"
            "Yah, aku benci menggerakkan tubuuhku mengikuti gerakan-gerakan aneh dari para guru itu." Beny melirik tumpukan berkas milik Rendy sejenak lalu mengambil selembar kertas yang paling atas. Beberapa detik kemudian sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, "Murid baru ini orang asing ya?"
            Rendy mengangguk. "Dari Jepang dan sepertinya akan sekelas dengan ku," jelas Rendy kemudian. Ia bisa melihat tatapan berbinar di sepasang mata hitam Beny setelah mendengar kata Jepang. Beny memang sangat menyukai musik Jepang bahkan dalam iPod nano 16Gb-nya hanya penuh dengan lagu jepang dan beberapa lagu barat. "Kalau dia baik nanti akan ku kenalkan padamu," kata Rendy seakan bisa membaca pikiran adiknya itu.
            "Aku berangkat dulu, Ben." Rendy mengambil tumpukan berkas di atas meja makan itu lalu mengambil salah satunya yang masih berada di tangan Beny. Sekilas Beny bisa melihat kemerahan di kedua bola mata Rendy.
            "Kak.." panggil Beny membuat Rendy memandang Beny dengan tatapan agak bingung. Anak laki-laki berkulit sawo matang itu menatap Rendy lalu melemparkan kunci mobil Rendy yang tertinggal di meja makan. "Jangan terlalu memaksakan diri," ucap Beny.
            Rendy tersenyum sambil menyambut kunci mobil Nissan X-trail yang dilemparkan Beny. "Iya, aku tahu," balas Rendy lalu meninggalkan Beny bersama ruang makan yang semakin sepi.


12 komentar:

  1. Kurosaki Ogihci X-Death18 Mei 2010 pukul 00.18

    mantabh..^^b

    BalasHapus
  2. hahai~ ayo terus update !
    saya mau tau kisah lanjutannya !
    yg dari jepang itu, si cewe apa si cowo ?
    ahahaha UPDATE !

    BalasHapus
  3. Your Cousin Ako-chan18 Mei 2010 pukul 00.50

    Transmigrasi ke blog say?
    Keren loh ceritanya. Pengen liat lanjutannya deh!

    Sunako-chin!

    BalasHapus
  4. Anggie Takarai Kuchiki18 Mei 2010 pukul 00.59

    Sip! Manteb deh!
    Jangan" yg dibilang anak pindahan'a si anak cowok yg ketemu si raya dulu lagi XD
    ayo donk cepet" Kapitel 3 lagi. Gw penasaran nih XD

    BalasHapus
  5. wooooowwww,,,sugoi neeeeee...
    amu bakat banget bin jadi penulis cerita...
    moga ntar bisa jadi panulis yang pro...^^
    di tunggu yah lanjutannya,,,sekalian pemberitahuanya,,,hehehehe

    BalasHapus
  6. Mantab! Tapi si *ah ntar kalau budhe bilang pasti di bunuh* gak jadi keluar kapitel 2! Yah apdetlah pakde!

    BalasHapus
  7. Wah ..
    keren ceritanya ..
    di tunggu cerita selanjutnya ia ^^ ..

    BalasHapus
  8. X-Trail!!??MAUUUUU!!!!Oh ya,Rendi itu keliatannya sangat sibukk

    BalasHapus
  9. wohohoho,,,,,, tema novel biin mengarah ke cinta ato persahabatan???

    BalasHapus
  10. Wew..
    Menarik banget ceritanya.
    Rendy kasihan juga yah.

    BalasHapus
  11. myaaaahhh ~
    akhirnya baca juga XDDDDDD
    keep writing, bin ..
    ;)

    BalasHapus
  12. Wow, murud baru dari Jepang!
    dari dulu pengen banget aku punya temen orang jepang...
    Ya biar bisa ngajarin bhs japang gitu! *jiaah

    setelah ini, saya bakal lanjut ke kapitel 3! ^_^

    BalasHapus

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design