Senin, 17 Mei 2010

Tangkai Pertama

Sendiri itu bukan hal yang berat bagiku
Sendiri itu sudah menjadi bagian dari hidupku
Dan sendiri itulah yang hanya ku punyai saat ini.

Raya Paradhita
***
Raya menatap kosong keluar jendela kamarnya. Terkadang ia menghela napas beberapa kali, entah untuk maksud apa. Pagi sudah datang lagi sekarang, bersama sang matahari yang selalu setia terbit di sebelah timur dengan hawa hangat yang selalu mengundang tubuh untuk bangun dari pembaringan sementara dan juga membuat selimut penghangat tergeletak tak berguna karena hawa dingin malam telah pergi.

Ia melirik jam dinding berbentuk persegi yang tergantung pada dinding kamar kecilnya, sekedar ingin mengetahui sudah jam berapa kehidupan yang membosankan baginya itu. Dan Raya mendengus kesal ketika mendapati jam dinding –yang bisa dibilang sudah seperti rongsokan- itu sudah tidak berdetik lagi, alias mati. Raya beralih melirik jam weker yang terletak di atas meja belajarnya sekarang. Percuma, jam weker berlatar kelinci itu sama rongsokannya dengan jam dinding persegi yang mati tadi. Raya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, ia tidak pernah menyangka bisa memiliki dua barang rongsokan itu di kamarnya, benar-benar tidak berguna.

Akhirnya untuk sedikit mengobati rasa kesalnya pada dua jam tak berguna itu Raya melirik kalender digital yang terletak persis disamping jam weker rongsokan tadi. Untungnya kalender digital itu dibelikan oleh Fathir dan sudah pasti segala sesuatu yang dibeli Fathir adalah barang mahal –semenjak Fathir menjadi pengusaha yang lumayan sukses.

Bicara tentang Fathir, sekarang pria berwajah dingin itu sudah tidak tinggal bersama Raya lagi. Selain karena tidak enak dilihat tetangga jika kakak ipar dan adik ipar tinggal bersama juga karena Fathir bekerja di luar kota, tepatnya di Bandung. Fathir memiliki sebuah perusahaan jasa pengiriman di sana. Raya tidak pernah keberatan dengan hal itu, asalkan Fathir mau menanggung biaya hidup dan sekolah Raya di Jogja sendirian. Ya, Raya hanya sebatang kara, orang tuanya telah meninggal sejak ia berusia sembilan tahun dan sejak saat itu hanya Sara yang saat itu berusia sembilan belas tahun yang merawatnya. Sara bukan hanya sekedar kakak bagi Raya, tapi sudah bisa disamakan sebagai ibu. Terlebih lagi karena paras mereka berdua bisa dibilang mirip.

10 Januari 2010. Raya menatap lekat layar kalender digital berwarna abu-abu itu, berharap matanya salah lihat menjadi tanggal lain, tapi walau beberapa kali dilihat pun angka satu dan nol itu tetap tidak berubah dan hal itu membuat Raya menghela napas beratnya. Mungkin bagi orang biasa tidak ada masalah dengan tanggal 10 Januari 2010, tapi bagi Raya tanggal itu berarti dimulainya hari-hari membosankan sedunia. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester.

Raya menguap cukup lebar sebelum mengambil sebuah jepit rambut berbentuk bunga aster ungu di atas meja riasnya. Perlahan ia menggulung rambut hitam sebahunya yang tidak terlalu panjang lalu menjepitnya dengan jepitan rambut tadi dan melangkah menuju ke kamar mandi.
***

Raya Paradhita. Nama itu yang terbordir di bagian kiri dada baju seragamnya. Paradhita adalah nama belakang ayahnya yang sejak turun temurun diwariskan dari buyut hingga dirinya sekarang. Raya tidak perduli dengan itu, baginya nama bukanlah segala-galanya walaupun dia juga tidak setuju tentang pendapat Shakespear tentang apalah arti sebuah nama.
Raya berdiri di depan gerbang sekolahnya sekarang. Lengkap dengan seragam putih-abu-abu khas SMA dan tas punggung Volcom yang dibelinya dari sebuah distro di Ambarukmo Plaza.
Selamat datang hari-hariku yang membosankan! Raya tersenyum kecut. Kakinya terasa berat untuk memasuki halaman Gilbert Choze International High School. Ada rasa malas bercampur muak yang ia rasakan, ia malas bertemu dengan anak-anak di kelasnya yang sombongnya mungkin melebihi standar kesombongan nasional, jika ada. Baiklah, ia memang mengakui mayoritas anak di kelasnya adalah kaum borjuis yang tajir minta ampun.

Bukan salah mereka jika mereka sombong karena memang Gilbert Choze International High School adalah sekolah yang isinya hampir semua kaum borjuis yang pergi ke sekolah hanya untuk bersenang-senang semata dan Raya bisa berada di sana berkat Fathir yang sedikit memaksanya sekolah di sana. Tentunya Fathir mengeluarkan banyak biaya untuk memasukkan Raya ke sekolah itu karena sekolah itu adalah SMA swasta. Tidak kurang dari tiga juta yang dikeluarkan Fathir tiap bulan untuk biaya SPP, uang bangunan, buku dan lain sebagainya.
Sebenarnya bukan hanya anak orang kaya yang sekolah di sana. Ada sebuah perkumpulan bernama Great Commoners yang isinya adalah anak-anak orang biasa yang bisa sekolah di Gilbert Choze karena beasiswa atas kepintaran mereka. Tetapi walaupun ada perkumpulan seperti itu nama Raya Paraditha tidak pernah tercatat sebagai anggota karena ia memang malas mengikuti perkumpulan –yang menurutnya bodoh- seperti itu dan juga karena dia bukan siswi yang mendapat beasiswa.

Kembali ke keadaan Raya yang masih terdiam di depan gerbang sekolah. Sudah hampir sepuluh menit berlalu dan Raya belum juga melangkah memasuki Gilbert Choze. Ia hanya memandangi plang bertuliskan ‘Welcome to Gilbert Choze International High School’ yang menurut desas-desus berlapiskan emas. Raya hanya tertawa geli mendengar desas-desus seperti itu. Beginilah sekolah swasta termewah di Jogja, penuh dengan kaum borjuis yang terkadang terlihat norak di mata Raya.

Teng.. Teng.. Teng..

Raya menggerutu. Bunyi bel tiga kali berarti semua siswa harus berkumpul di lapangan sekolah secepat mungkin. Raya menghirup napas sejenak lalu mulai berlari secepat mungkin melewati beberapa siswa yang melihatnya dengan tatapan aneh. Kalau kalian berpikir untuk apa Raya berlari maka jawabannya hanya satu : jarak dari gerbang sekolah menuju ke lapangan sekolah sekitar 500 meter. Jika tidak dengan berlari maka Raya akan sampai ke lapangan itu dengan memakan waktu sepuluh menit, dan tentunya dengan waktu selama itu ia akan sangat terlambat.

Berkat kecepatan larinya yang bisa dibilang bagus Raya bisa mencapai lapangan sekolah hanya dengan waktu empat menit walau harus bermandikan keringat di seluruh tubuh mungilnya. Mungil. Dengan tinggi hanya 158cm di tengah siswa lain yang rata-rata 165cm sudah cukup untuk memanggilnya boncel ataupun midget.

Raya bisa melihat barisan-barisan rapi siswa Gilbert Choze menghadap podium besar di utara lapangan sekolah. Dan ia harus kembali berlari ke barisan kelasnya, XI IPS B, yang sialnya terletak di bagian samping kiri depan podium. Kepala sekolah Gilbert Choze, Hendry Susanto, akan memulai pidato sambutan membosankannya seperti biasa ketika Raya memasuki barisan –walau tidak bisa dibilang memasuki karena Raya baris di barisan paling belakang-. Dan seperti biasa pula tidak ada siswa yang mendengarkan celotehan basa-basi dari lelaki yang usianya telah mencapai kepala lima itu, terkecuali anggota perkumpulan kacamata tebal alias Great Commoners yang bahkan memiliki barisan tersendiri. Ya ampun, Raya hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Perbedaan kasta antara orang kaya dengan orang biasa –jika tidak mau dibilang miskin- terlalu mencolok di sini.
***

Raya menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu jati yang berdiri kokoh di pojok kelas XI IPS B. Ia bisa merasakan otot-otot kakinya menegang setelah berdiri hampir dua jam penuh. Walau ia tahu bahwa pidato sambutan dari Kepala Sekolah selalu memakan banyak waktu tapi ia tidak pernah mengira akan melampaui batas dua jam, bagaimana bisa pria paruh baya seperti Hendry tahan bercuap-cuap di atas podium selama itu apalagi dengan hanya membahas nasehat-nasehat basi tentang kebersihan dan ketekunan belajar.
Raya menghela napasnya. Satu setengah tahun sudah ia sekolah di Gilbert Choze tetapi tidak mempunyai satu teman pun. Semua siswa memiliki grup masing-masing yang terdiri dari pecinta fashion, otomotif, film dan juga grup yang isinya orang-orang super jenius. Raya tidak pernah bisa masuk dalam lingkungan grup-grup itu, di sekolah ini ia dianak tirikan karena tidak mempunyai orang tua dan sebatang kara.
Satu setengah tahun juga ia duduk di pojok kanan kelas, sendiri, tanpa teman yang bisa diajak bicara, di samping jendela yang tidak pernah terbuka karena ruangan kelasnya ber-AC. Raya tidak pernah mempermasalahkan hal itu, perasaan ingin mempunyai teman dari dalam hatinya telah menguap entah kemana bersama dengan senyumannya yang tidak pernah mengembang setelah kematian Sara. Ia memangku dagunya dengan telapak tangan kanannya. Pandangannya tertuju pada pemandangan diluar jendela kelasnya, sebuah pohon cemara. Ia senang memandang pohon rimbun yang tingginya sekitar dua meter itu. Pohon cemara itu seperti memberikan kesejukan baginya yang bosan menjalani hidup di jaman sekarang.
Suasana kelas yang agak gaduh menjadi tenang ketika guru Bahasa Indonesia Gilbert Choze, Citra Hadirja, memasuki kelas XI IPS B. Beberapa siswa yang tadinya bergerombol sekarang sudah duduk manis di kursinya masing-masing. Sedangkan Raya masih terpaku memandang pohon cemara yang dihinggapi beberapa burung gereja sambil memperbesar volume suara iPod nano yang ia pakai tanpa menghiraukan Bu Citra yang sedang mengabsen kehadiran siswa di kelasnya.

"Raya Paradhita? Apa Raya hadir?" panggil guru Bahasa Indonesia berkacamata itu. Ia mendongakkan kepalanya untuk mencari sosok Raya yang tidak menghiraukan panggilannya. Matanya yang minus menyipit ketika menemukan gadis berambut hitam itu termenung menatap keluar jendela dengan earphone yang terpasang di telinga. Bu Citra hanya bisa menghela napasnya. Ia hapal dengan kelakuan Raya, selalu saja begitu, tidak pernah memperhatikan guru yang ada di depan kelas.

Bu Citra bangkit dari kursinya dan berjalan kearah meja Raya. Perempuan setengah baya itu bisa melihat tatapan kosong di mata Raya saat ia berada di hadapan gadis itu. Bu Citra mengambil iPod nano dari saku seragam Raya dan menekan tombol pause hingga membuat Raya akhirnya berpaling memandangnya. "Ada apa?" tanya Raya malas.

"Ada apa kamu bilang? Astaga Raya, sudah berapa kali Ibu bilang kalau sedang dalam jam pelajaran kamu tidak boleh memakai iPod-mu itu. Semester baru saja dimulai tapi kamu sudah membuat masalah lagi, sebenarnya kamu niat sekolah apa tidak sih?"

Raya kembali memangku kepalanya pada tangan kirinya dengan malas, "Sudah selesai ceramahnya?" tanyanya datar. Bu Citra menggebrak meja Raya cukup keras hingga mengagetkan semua siswa di dalam kelas. "Raya, kamu itu.."

"Maaf Bu Citra, saya kira anda telah membuat keributan di kelas ini. Bisakah anda segera memulai pelajaran? Dan kamu, Raya Paraditha, jika kamu tidak berniat mengikuti pelajaran kusarankan supaya kamu keluar saja," potong siswa pria bernama Rendy sebelum Bu Citra naik pitam. Bu Citra mengelus dadanya menenangkan amarahnya yang hampir saja memuncak karena Raya, sedangkan Raya bangkit dari kursinya sambil mengambil tas dan iPod-nya yang tergeletak di atas meja lalu meninggalkan kelas yang sekarang ribut dengan bisik-bisik dari para siswa lain.

Rendy hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Raya yang diasumsikan pasti akan pulang dan tidak akan kembali ke kelas lagi hari ini padahal ia hanya menyuruh gadis itu untuk keluar pada pelajaran Bahasa Indonesia sekarang. "Kenapa gadis itu susah sekali diatur sih," katanya pelan lalu berpaling kearah Bu Citra yang telah kembali duduk di kursi guru samping kanan whiteboard kelas. "Saya sebagai ketua kelas mohon maaf atas kelakuan Raya Paraditha tadi," kata Rendy sopan.

"Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu minta maaf. Ibu yang salah karena tidak bisa menahan emosi."

"Saya harap kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi. Baiklah, Ibu bisa memulai pelajaran sekarang." Rendy kembali ke kursinya dengan tenang meskipun ia sedikit bisa mendengar bisik-bisik beberapa siswa lain tentang dirinya, ia tidak perduli. Setelah kembali duduk di kursinya ia segera mengeluarkan beberapa buku dan memasang kacamatanya.

"Apa tidak apa-apa membiarkan gadis sebatang kara itu pulang sekarang, Ren?" tanya teman sebangkunya, Satria. "Bukankah itu melanggar peraturan sekolah," sambungnya lagi.

Rendy menatap anak pemilik rumah makan itu dengan sinis. Ia tidak suka mendengar kata "Gadis Sebatang Kara" yang dicapkan siswa lain pada Raya. "Tidak apa. Aku yang akan bertanggung jawab pada kepala sekolah nanti," jawab Rendy sambil mencatat penjelasan penting dari Bu Citra. Satria tertawa geli mendengar jawaban Rendy, "Kamu itu memang ketua OSIS yang baik ya, Ren."

"Oh iya, kudengar besok ada siswa pindahan kan. Kau kan ketua OSIS jadi pasti tahu orang seperti apa siswa pindahan itu. Apa dia kaya?"

Rendy berhenti menulis dan menoleh pada Satria, "Satria, apa kamu juga mau kusuruh keluar?" Satria menggeleng dengan segera. "Kalau begitu perhatikan pelajaran dengan benar," kata Rendy tegas.

2 komentar:

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design