Kamis, 11 April 2013

Prologue


     Hentakan sepatu kaca berwarna kelabu itu meraum miris dalam labirin tak berujung. Sang empunya menggigit bibir ranumnya sambil menyipitkan mata. Dentuman jantung yang mengalahkan letupan gunung Hawaii saat erupsi itu terasa memakan nadi-nadinya. Napasnya memburu, pupil senada jamrud itu berkedip lebih banyak dari biasanya.

     Bayang-bayang hitam tanpa kepala bertunggang kuda mengejarnya dengan penuh gairah. Bayang-bayang itu pasti akan mengejarnya sampai ke ujung dunia. Entah dunia mana. Dirinya terlalu nikmat untuk dilewatkan oleh mereka. Dirinya terlalu kuat untuk diabaikan oleh mereka. Namun, sebenarnya mereka tidak akan bisa semudah itu menyantapnya, itu sama saja dengan bunuh diri.

     Entah sudah berapa ribu purnama ia lewati. Hidupnya terlalu kekal untuk menghitung waktu, toh ada kemungkinan jika hidupnya tidak akan pernah berakhir. Namun, dari beribu purnama itu baru kali ini ia terjebak dalam labirin dimensi. Ia tidak tahu mengapa. Beribu kemungkinan berdesak dalam pikirannya.

    Bayang-bayang hitam tanpa kepala yang sebenarnya merupakan ksatria awal zaman itu terus mengejarnya. Buruk. Ia telah berada di labirin ini terlalu lama. Lebih lama lagi ia terperangkap di sini maka labirin penghubung dunia ini akan runtuh karena tak kuasa menahan gesekan antara kekuatannya dan segel dimensi.

     Ia terlalu sakti, kah? Sekelumit penyesalan menyerbu hatinya karena pergi melintasi labirin ini seorang diri. Seharusnya ia pergi bersama Gawain dan Galahad seperti biasanya.. Ya, seharusnya.

      Hm.. Jika diingat dulu ia bertemu dengan dua pemuda itu di labirin dimensi ini. Satu abad yang lalu mungkin. Ia menemukan Gawain dan Galahad tergeletak di sisi dinding labirin. Entah mereka ingin pergi kemana namun yang jelas mereka berdua terlalu lemah untuk melintasi labirin ini, kebalikan dari dirinya yang terlalu kuat. Karena itu dulu dirinya menawarkan untuk menyelamatnya mereka dengan satu syarat; Gawain dan Galahad harus mengabdi padanya selama-lamanya. Ajaibnya, kedua pemuda itu langsung menyetujuinya, tanpa negosiasi apapun.

     Sejak saat itu ia tidak pernah sendiri ketika melintasi labirin dimensi. Selalu ada Gawain dan Galahad yang menemaninya, bekerja sebagai penetral yang secara otomatis akan meyerap seperempat dari kekuatannya, menjamin labirin dimensi ini tidak goyah ataupun hancur.

     Sang penyihir menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ah, ia bahkan bisa merasakan keringat juga mengalir di sela-sela rambut indah berwarna emasnya. Wajah jelitanya yang menipu takdir usia itu terlukis perasaan khawatir. Sang penyihir melirik gaunnya yang berwarna seindah bukit harapan. Sang penyihir benci mengetahui gaun favorite-nya kotor terseret tanah becek dalam labirin ini.

     SIIINGG...

    “Ah, ini kan..”

  Sang penyihir menatap cincin bertahta permata Kooh-i-Noor yang melingkar manis pada jari telunjuknya. Permata itu bersinar kekuning-kuningan, pertanda jika ada seseorang yang memanggilnya. Seseorang dengan kekuatan yang hampir sepadan dengannya.

     Tetapi ini bukan saatnya untuk menjawab panggilan itu kan? Prioritasmu adalah untuk bisa keluar dari labirin dimensi ini secepat mungkin.

     “Aku hanya memiliki dua pilihan, huh?” ucap sang penyihir ketika langkahnya terhenti di sisi jurang batas akhir dari labirin ini.

     Sekarang ia hanya memiliki dua pilihan; melepas cincinnya dan menerima panggilan dari seseorang itu atau melompat ke dasar jurang meski ia tidak tahu ada apa di ujung jurang itu.


***
Notes :
 Jadi ini adalah Choice-Novel. Bagaimana cerita selanjutnya ditentukan oleh hasil polling yang berada di sisi kanan atas blog ini. Silahkan vote tindakan apa yang menurut kamu harus dilakukan oleh sang karakter dalam cerita ini.

Anggi Widyastuti
@anggiwdyst

0 komentar:

Posting Komentar

 

A D.I.Y. Blogger Template by Sommerfugl Design