Hentakan
sepatu kaca berwarna kelabu itu meraum miris dalam labirin tak
berujung. Sang empunya menggigit bibir ranumnya sambil menyipitkan
mata. Dentuman jantung yang mengalahkan letupan gunung Hawaii saat
erupsi itu terasa memakan nadi-nadinya. Napasnya memburu, pupil
senada jamrud itu berkedip lebih banyak dari biasanya.
Bayang-bayang
hitam tanpa kepala bertunggang kuda mengejarnya dengan penuh gairah.
Bayang-bayang itu pasti akan mengejarnya sampai ke ujung dunia. Entah
dunia mana. Dirinya terlalu nikmat untuk dilewatkan oleh mereka.
Dirinya terlalu kuat untuk diabaikan oleh mereka. Namun, sebenarnya
mereka tidak akan bisa semudah itu menyantapnya, itu sama saja dengan
bunuh diri.
Entah
sudah berapa ribu purnama ia lewati. Hidupnya terlalu kekal untuk
menghitung waktu, toh ada kemungkinan jika hidupnya tidak akan pernah
berakhir. Namun, dari beribu purnama itu baru kali ini ia terjebak
dalam labirin dimensi. Ia tidak tahu mengapa. Beribu kemungkinan
berdesak dalam pikirannya.
Bayang-bayang
hitam tanpa kepala yang sebenarnya merupakan ksatria awal zaman itu
terus mengejarnya. Buruk. Ia telah berada di labirin ini terlalu
lama. Lebih lama lagi ia terperangkap di sini maka labirin penghubung
dunia ini akan runtuh karena tak kuasa menahan gesekan antara
kekuatannya dan segel dimensi.
Ia
terlalu sakti, kah? Sekelumit penyesalan menyerbu hatinya karena
pergi melintasi labirin ini seorang diri. Seharusnya ia pergi bersama
Gawain dan Galahad seperti biasanya.. Ya, seharusnya.
Hm..
Jika diingat dulu ia bertemu dengan dua pemuda itu di labirin dimensi
ini. Satu abad yang lalu mungkin. Ia menemukan Gawain dan Galahad
tergeletak di sisi dinding labirin. Entah mereka ingin pergi kemana
namun yang jelas mereka berdua terlalu lemah untuk melintasi labirin
ini, kebalikan dari dirinya yang terlalu kuat. Karena itu dulu
dirinya menawarkan untuk menyelamatnya mereka dengan satu syarat;
Gawain dan Galahad harus mengabdi padanya selama-lamanya. Ajaibnya,
kedua pemuda itu langsung menyetujuinya, tanpa negosiasi apapun.
Sejak
saat itu ia tidak pernah sendiri ketika melintasi labirin dimensi.
Selalu ada Gawain dan Galahad yang menemaninya, bekerja sebagai
penetral yang secara otomatis akan meyerap seperempat dari
kekuatannya, menjamin labirin dimensi ini tidak goyah ataupun hancur.
Sang
penyihir menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ah, ia bahkan bisa
merasakan keringat juga mengalir di sela-sela rambut indah berwarna
emasnya. Wajah jelitanya yang menipu takdir usia itu terlukis
perasaan khawatir. Sang penyihir melirik gaunnya yang berwarna
seindah bukit harapan. Sang penyihir benci mengetahui gaun
favorite-nya kotor terseret tanah becek dalam labirin ini.
SIIINGG...
“Ah,
ini kan..”
Sang
penyihir menatap cincin bertahta permata Kooh-i-Noor yang melingkar
manis pada jari telunjuknya. Permata itu bersinar kekuning-kuningan,
pertanda jika ada seseorang yang memanggilnya. Seseorang dengan
kekuatan yang hampir sepadan dengannya.
Tetapi
ini bukan saatnya untuk menjawab panggilan itu kan? Prioritasmu
adalah untuk bisa keluar dari labirin dimensi ini secepat mungkin.
“Aku
hanya memiliki dua pilihan, huh?” ucap sang penyihir ketika
langkahnya terhenti di sisi jurang batas akhir dari labirin ini.
Sekarang
ia hanya memiliki dua pilihan; melepas cincinnya dan menerima
panggilan dari seseorang itu atau melompat ke dasar jurang meski ia
tidak tahu ada apa di ujung jurang itu.
***
Notes :
Jadi ini adalah Choice-Novel. Bagaimana cerita selanjutnya ditentukan oleh hasil polling yang berada di sisi kanan atas blog ini. Silahkan vote tindakan apa yang menurut kamu harus dilakukan oleh sang karakter dalam cerita ini.
Anggi Widyastuti
@anggiwdyst
0 komentar:
Posting Komentar